Oleh: Irwan (Bung Kuca) Menteri Pergerakan IM3L
Faktual.Net, Buton Tengah — Pilkada merupakan pesta demokrasi 5 tahunan dalam rangka mencari pemimpin kepala daerah, sebuah ajang dimana para calon saling beradu ide dan gagasan untuk membangun daerah serta mensejahterakan rakyat.
Mengingat betapa pentingnya momen tersebut dalam menentukan nasib daerah untuk 5 tahun masa kepemimpinan, maka menjadi hal wajib pula untuk menciptakan kondisi yang sehat dalam berpesta-demokrasi.
Dengan kondisi tersebut, akan lahir pemimpin yang mempunya kualitas serta kapasitas untuk menjalankan roda kepemimpinan suatu daerah.
Namun, suasana perpolitikan tidak selalu berjalan mulus, terdapat tantangan serta hambatan yang selalu mengancam stabilitas politik, dan salah satu yang sering terjadi adalah ‘Politik Demagogi’.
Politik demagogi telah menjadi isu yang kerap mencuat dalam setiap pemilu, termasuk dalam pesta demokrasi di Kabupaten Buton Tengah.
Demagogi, sebagai praktik politik yang mengutamakan retorika emosional dan manipulasi untuk memenangkan dukungan rakyat, menjadi taktik yang berbahaya, terutama ketika masyarakat belum memiliki pemahaman politik yang memadai.
Di Buton Tengah, fenomena ini mencerminkan minimnya pendidikan politik yang merata di kalangan masyarakat.
Salah satu dampak dari politik demogogi adalah kemudahan masyarakat terpengaruh oleh janji-janji kosong dan slogan populis yang kerap diulang-ulang oleh para pelaku politik, tim pemenangan, relawan hingga calon pemimpin.
Tanpa pemahaman politik yang mendalam, masyarakat cenderung memilih berdasarkan sentimen atau daya tarik emosional, bukan karena rekam jejak atau visi misi yang jelas dari para calon.
Kondisi ini menguntungkan calon yang bermain di ranah demagogi, memanfaatkan isu-isu sensitif atau keprihatinan sosial yang ada untuk menarik simpati publik. Padahal, tanpa adanya tindakan nyata, janji-janji ini hanya akan menguap setelah pemilu usai.
Selain itu, pendidikan politik yang minim menyebabkan masyarakat kurang memahami hak dan tanggung jawab mereka sebagai pemilih. Banyak warga yang tidak menyadari pentingnya memilih berdasarkan kualitas.
Akibatnya, pemilih sering kali tidak peduli atau bahkan tidak mengetahui konsekuensi dari pilihan mereka. Di sinilah demagogi menemukan celahnya. Karena kurangnya pengetahuan politik, masyarakat mudah dipengaruhi oleh pihak-pihak yang ingin memanipulasi opini publik demi keuntungan pribadi atau kelompok.
Padahal, pendidikan politik yang baik akan memberikan perspektif kritis kepada masyarakat dalam menilai setiap calon.
Melalui pemahaman yang benar, masyarakat dapat membedakan mana janji yang realistis dan mana yang sekadar retorika politik. Selain itu, mereka juga akan lebih memahami peran mereka dalam demokrasi, yang bukan hanya memilih, tetapi juga mengawasi kinerja pejabat terpilih dan menuntut akuntabilitas.
Pemerintah dan lembaga terkait perlu berperan aktif dalam memberikan pendidikan politik yang berkelanjutan dan efektif. Sosialisasi dan pendidikan harus melibatkan masyarakat dari berbagai lapisan dan usia, terutama generasi muda yang akan menjadi pemilih masa depan.
Kampanye yang berfokus pada isu-isu penting seperti transparansi, integritas, dan kejujuran harus diperkuat agar masyarakat terbiasa dengan kriteria yang lebih substansial dalam memilih pemimpin.
Akhirnya, dengan pendidikan politik yang baik, diharapkan masyarakat Kabupaten Buton Tengah tidak lagi mudah terjebak dalam perangkap demagogi.
Sebaliknya, mereka dapat memilih dengan bijak dan kritis, serta memastikan bahwa demokrasi berjalan sehat demi kesejahteraan bersama.(**)