Tiga Wujud Penyalahgunaan Wewenang Dalam Hukum Administrasi

Oleh: Khairunas, SH. MH. 
(Kepala Biro AUAK IAIN Pontianak)

Faktual.Net. Terkait tindak pidana penyalahgunaan wewenang jabatan ini, dimuat dalam pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001, “Bahwa setiap orang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat satu tahun dan paling lama dua puluh tahun dan atau denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00.”

Pengertian mengenai penyalahgunaan kewenangan dalam hukum administrasi dapat diartikan dalam 3 (tiga) wujud, yaitu:

  1. Penyalahgunaan kewenangan untuk melakukan tindakan-tindakan yang bertentangan dengan kepentingan umum atau untuk menguntungkan kepentingan pribadi, kelompok atau golongan;
  2. Penyalahgunaan kewenangan dalam arti bahwa tindakan pejabat tersebut adalah benar ditujukan untuk kepentingan umum, tetapi menyimpang dari tujuan kewenangan yang diberikan oleh undang-undang atau peraturan-peraturan lainnya;
  3. Penyalahgunaan kewenangan dalam arti menyalahgunakan prosedur yang seharusnya dipergunakan untuk mencapai tujuan tertentu, tetapi telah menggunakan prosedur lain agar terlaksana.

Pada dasarnya, penyalahgunaan kewenangan mempunyai karakter atau ciri sebagai berikut:

1. Menyimpang dari tujuan atau maksud dari suatu pemberian kewenangan.

Setiap pemberian kewenangan kepada suatu badan atau kepada pejabat administrasi negara selalu disertai dengan “tujuan dan maksud” atas diberikannya kewenangan tersebut, sehingga penerapan kewenangan tersebut harus sesuai dengan “tujuan dan maksud” diberikannya kewenangan tersebut. Dalam hal penggunaan kewenangan oleh suatu badan atau pejabat administrasi negara tersebut tidak sesuai dengan “tujuan dan maksud” dari pemberian kewenangan, maka pejabat administrasi Negara tersebut telah melakukan penyalahgunaan kewenangan.

2. Menyimpang dari tujuan atau maksud dalam kaitannya dengan asas legalitas.

Asas legalitas merupakan salah satu prinsip utama yang dijadikan dasar dalam setiap penyelenggaraan pemerintahan, terutama dalam sisitem hukum kontinental. Pada negara demokrasi tindakan pemerintah harus mendapatkan legitimasi dari rakyat yang secara formal tertuang dalam undang-undang.

3. Menyimpang dari tujuan atau maksud dalam kaitannya dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik.

Asas-Asas Umum penyelenggaraan negara dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme meliputi, a. Asas kepastian hukum; b. Asas tertib penyelenggaraan Negara; c. Asas kepentingan umum; d. Asas keterbukaan; e. Asas proposionalitas; f. Asas profesionalitas; dan g. Asas akuntabilitas.

Penyalahgunaan kewenangan sangat erat kaitan dengan terdapatnya ketidaksahan (cacat hukum) dari suatu keputusan dan atau tindakan pemerintah/penyelenggara negara. Cacat hukum keputusan dan atau tindakan pemerintah/penyelenggara negara pada umumnya menyangkut tiga unsur utama, yaitu unsur kewenangan, unsur prosedur dan unsur substansi, dengan demikian cacat hukum tindakan penyelenggara negara dapat diklasifikasikan dalam tiga macam, yakni: cacat wewenang, cacat prosedur dan cacat substansi.

Ketiga hal tersebutlah yang menjadi hakekat timbulnya penyalahgunaan kewenangan.

Dasar pengujian ada atau tidaknya penyalahgunaan ini adalah peraturan dasar (legalitas) sebagai hukum positif tertulis yang melatar belakangi ada atau tidaknya kewenangan saat mengeluarkan suatu keputusan, artinya ukuran atau kriteria ada atau tidaknya unsur “menyalahgunakan kewenangan” haruslah berpijak pada peraturan dasar mengenai tugas, kedudukan, fungsi, susunan organisasi dan tata kerja.

Penyalahgunaan kewenangan yang diatur dalam Pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001 bukanlah satu-satunya bentuk penyalahgunaan kewenangan. Selain penyalahgunaan kewenangan dalam Pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001 tersebut, terdapat tiga bentuk penyalahgunaan lainnya yaitu tindak pidana penyuapan kepada aparatur negara, tindak pidana gratifikasi kepada aparatur negara dan tindak pidana pemerasan oleh pejabat/aparatur negara. Ketiga bentuk tindak pidana korupsi tersebut masing-masing diatur dalam pasal tersendiri dalam UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001.

Untuk tindak pidana korupsi suap ini, diatur dalam Pasal 5 dengan ancaman pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp.50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.250.000.000,- (dua ratus lima puluh juta rupiah), baik terhadap pemberi suap maupun terhadap penerima suap.

Gratifikasi diatur dalam Pasal 12B, Gratifikasi yang nilainya Rp.10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau lebih, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi, sedangkan yang nilainya kurang dari Rp.10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah), pembuktian bahwa gratifikasi tersebut dilakukan oleh penuntut umum.

Baca Juga :  Pj Gubernur Respon Pandangan Umum Fraksi-fraksi dalam DPRD Sultra Terhadap Rancangan Perda Tentang Riset dan Inovasi

Ancaman pidana bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima gratifikasi berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya adalah pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp.200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Pada hakekatnya, gratifikasi adalah pemberian kepada pegawai negeri/penyelenggara negara dan bukan merupakan suap. Gratifikasi merupakan suap apabila diberikan oleh si pemberi gratifikasi berhubungan dengan jabatan dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugas si penerima gratifikasi sebagai pegawai negeri.

Perbedaan prinsip antara ketiga bentuk penyalahgunaan kewenangan tersebut diatas dengan penyalahgunaan kewenangan dalam Pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001 adalah bahwa terjadinya ketiga bentuk penyalahgunaan kewenangan tersebut tidak disyaratkan harus berimplikasi terhadap kerugian negara atau kerugian perekonomian negara, sedangkan terjadinya penyalahgunaan kewenangan pada Pasal 3, mensyaratkan harus terdapat implikasi kerugian negara atau kerugian perekonomian negara.

Jika dilihat pada penanganan kasus pejabat yang menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, hampir terjadi pada setiap Kementerian dan Lembaga, termasuk pada Kementerian Agama juga tidak luput dari adanya pejabat yang menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.

Upaya dari pemerintah untuk memerangi korupsi dan dalam rangka percepatan pemberantasan korupsi, Presiden melalui Inpres Nomor 5 Tahun 2004, telah menginstruksian kepada para Menteri Kabinet Indonesia Bersatu agar melakukan langkah dan program kongkrit percepatan pemberantasan korupsi; Kemudian Inpres Nomor 9 Tahun 2011 tentang Rencana Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi.

Terakhir Inpres No 2 Tahun 2014 tanggal 21 Maret 2014 tentang Aksi Penceghan dan Pemberantasan Korupsi Tahun 2014. Semakin gencar upaya pemerintah untuk memberantas Korupsi ini, tetapi kenyataannya korupsi bukan berkurang, Korupsi makin menggeliat untuk meningkat. Bahkan realitas korupsi telah dilakukan oleh orang-orang yang berasal dari “Lintas Kekuasaan”.

Bentuk-bentuk penyalahgunaan wewenang jabatan yang biasanya sering terjadi dalam tatanan birokrasi adalah pemberhentian pejabat struktural yang bertentangan dengan aturan perudang-undangan, dimana dalam hal pemberhentian pejabat struktural menurut Peraturan Pemerintah Nomor 100 tahun 2000 jo Peraturan Pemerintah Nomor 13 tahun 2002 tentang perubahan PP Nomor 100 Tahun 2000 pasal 10 menyebutkan bahwa Pegawai Negeri Sipil diberhentikan dari jabatan struktural karena :

  1. mengundurkan diri dari jabatan yang didudukinya;
  2. mencapai batas usia pensiunan;
  3. diberhentikan sebagai Pegawai Negeri Sipil;
  4. diangkat dalam jabatan struktural lain atau jabatan fungsional;
  5. cuti di luar tanggungan negara, kecuali cuti di luar tanggungan negara karena persalinan;
  6. tugas belajar lebih dari 6 (enam) bulan;
  7. adanya perampingan organisasi pemerintah;
  8. tidak memenuhi persyaratan kesehatan jasmani dan rohani; atau
  9. hal hal lain yang ditentukan dalam peraturan perundang undangan yang berlaku.

Namun kenyataannya sering terjadi, banyak pejabat struktural diberhentikan tidak memenuhi persyaratan dalam pasal 10 PP Nomor 100 tahun 2000 tersebut, dan prosedur pemberhentian dari jabatan manakala pejabat yang diberhentikan tersebut melakukan pelanggaran disiplin, juga tidak dilakukan sebagaimana ketentuan dalam PP Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin PNS Pasal 24 ayat (1) “Sebelum PNS dijatuhi hukuman disiplin setiap atasan langsung wajib memeriksa terlebih dahulu PNS yang diduga melakukan pelanggaran disiplin”. Ayat (2) “Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara tertutup dan hasilnya dituangkan dalam bentuk berita acara pemeriksaan”.

Menurut hukum, bahwa manakala terjadi penyalahgunaan wewenang dalam bentuk pemberhentian dari jabatan tidak sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku ini, maka sudah seharusnya Surat Keputusan pemberhentian dari jabatan tersebut adalah cacat hukum, sehingganya tidak memiliki kekuatan hukum dan tidak sah menurut hukum. Atas tindakan dan kejadian seperti ini, maka pejabat yang diangkat untuk menggantikan pejabat yang diberhentikan juga tidak sah, karena pejabat yang resmi dan sah masih berhak atas jabatan tersebut dan begitu juga atas tunjangan jabatannya.

Bentuk penyalahgunaan wewenang jabatan yang masuk kategori tindak pidana sebagaimana diatur dalam pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 tahun 2001 adalah manakala pejabat yang diberi amanah telah melakukan tindakan korupsi karena penyalahgunaan kewenangan jabatannya seperti pengadaan barang dan jasa tanpa melalui proses sesuai prosedur pengadaan dalam Perpres Nomor 54 tahun 2010 yang berakibat terjadinya kerugian negara, maka perbuatan tersebut masuk dalam kategori penyalahgunaan wewenang jabatan (abuse of power).

Baca Juga :  Pj Gubernur Tegas Tidak Ada Jual Beli Jabatan di Lingkup Pemprov Sultra

Contoh pada Kementerian Agama adalah keputusan Mahkamah Agung RI No. 1287 K/Pid.Sus/2013 tanggal 30 Juli 2013 atas tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh oknum pejabat Kementerian Agama terkait jabatannya sebagai Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) pada salah satu perguruan tinggi negeri di Jawa Barat. Dan Keputusan Mahkamah Agung No. 1709 K/Pid.Sus/2013 tanggal 13 Januari 2014 atas tindak pidana korupsi terkait jabatannya sebagai Ketua Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri.

Keputusan lembaga penegak hukum tersebut atas dua contoh penyalahgunaan wewenang jabatan, sudah memiliki kekuatan hukum tetap (inkrach) dan sudah dilakukan eksekusi atas putusan tersebut. Namun terkait dengan penyalahgunaan wewenang jabatan yang membawa akibat pelanggaran administrasi seperti contoh kasus pembebasan jabatan diatas, itu belum ada tindakan hukum atas pejabat yang melakukan penyalahgunaan wewenang jabatan, disinilah peran Inspektorat Jenderal sesungguhnya untuk mengawal tegaknya hukum dan memberikan kepastian hukum bagi pejabat pada Kementerian Agama.

Pertanyaannya adalah sejauhmana independensi Inspektorat Jenderal dalam melakukan tugasnya terkait dengan kewenangan yang dimiliki dapat dilaksanakan? jawabannya kembali pada komitmen pimpinan untuk menegakkan aturan, demi adanya kepastian hukum dan perlakuan yang sama kepada setiap orang pada lembaga ini.

Mengingat masih banyaknya terjadi penyimpangan pada Kementerian Agama, dan itu merupakan penyalahgunaan wewenag jabatan, maka sudah sepatutnya aparat pengawasan internal Kementerian Agama untuk bekerja maksimal dan sungguh-sungguh. Tantangan Inspektorat Jenderal kedepan tidaklah ringan, karena lingkaran kekuasaan pada Kementerian Agama banyak dipengaruhi oleh pihak eksternal Kementerian Agama, dimana sepanjang pimpinan tertinggi kementerian ini dipegang oleh pejabat partai politik, maka sulit untuk dihindari terjadinya comflik of interes antara kepentingan organisasi kementerian dan organisasi partai politik.

Upaya maksimal yang bisa dilakukan oleh Inspektorat Jenderal dan setiap PNS adalah mengunakan hak hukum Inspektorat Jenderal sebagai lembaga pemerintah untuk berkoordinasi dengan aparat penegak hukum manakala menemukan adanya pelanggaran hukum, sebagaimana diamanahkan dalam Inpres Nomor 5 tahun 2004 diktum ke delepan, yaitu berkoordinasi dengan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Bank Indonesia, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Ombudsman Republik Indonesia, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, serta Mahkamah Agung.

Sementara bagi PNS juga memiliki hak hukum yang diberikan oleh konstitusi yaitu, manakala mengetahui telah terjadi suatu tindak pidana, maka wajib segera untuk melaporkan kepada Penyelidik atau penyidik, sebagaimana diatur dalam pasal 108 ayat (3) KUHAP (UU Nomor 8 Tahun 1981). Selengkapnya pasal 108 ayat (3) KUHAP berbunyi “Setiap pegawai negeri dalam melaksanakan tugasnya yang mengetahui tentang terjadinya peristiwa yang merupakan tindak pidana wajib segera melaporkan hal itu kepada penyelidik atau penyidik”.

Walaupun setiap PNS diberikan hak hukum untuk melaporkan atas terjadinya suatu tindak pidana kepada penyelidik atau penyidik, namun sampai saat ini, belum ada PNS Kementerian Agama yang menggunakan hak hukumnya tersebut. Hal ini disebabkan karena ketidak tahuan atas hukum, juga karena rasa takut kalau diketahui telah melaporkan kepada aparat penegak hukum oleh pihak pejabat atau pegawai yang dilaporkan tersebut.

Kedepan semoga Inspektorat Jenderal bisa memberikan kepastian hukum atas pejabat dan pegawai Kementerian Agama yang diperlakukan secara melawan hukum dalam bentuk penyalahgunaan wewenang jabatan oleh pejabat yang memiliki kewenangan dan Inspektorat Jenderal menggunakan hak hukumnya untuk berkoordinasi dengan aparat penegak hukum dalam hal manakala terjadi korupsi pada Kementerian Agama. Begitu juga semoga setiap PNS yang memiliki hak hukum untuk melaporkan kepada penyelidik atau penyidik apabila mengetahui tentang terjadinya peristiwa yang merupakan tindak pidana oleh pejabat Kementerian Agama.(Dzul)

Sumber :https://iainptk.ac.id/tiga-wujud-penyalahgunaan-wewenang-dalam-hukum-administrasi/

Tanggapi Berita Ini