Penulis Opini : Abank Bintang Togubu
Faktual.Net, Tidore, Malut. Maluku Utara resmi terbentuk pada tanggal 4 Oktober 1999, melalui UU RI Nomor 46 Tahun 1999 dan UU RI Nomor 6 Tahun 2003.
Sebelum resmi menjadi sebuah provinsi, Maluku Utara merupakan bagian dari Provinsi Maluku, yaitu Kabupaten Maluku Utara dan Kabupaten Halmahera Tengah.
Sejak berdirinya Provinsi Maluku Utara, awalnya beribukota di Ternate yang berlokasi di kaki Gunung Gamalama. Namun, sejak 4 Agustus 2010, ibu kota Provinsi Maluku Utara berpindah ke Kota Sofifi yang berada di Pulau Halmahera.
Hampir kurun waktu 11 tahun masa transisi dan persiapan infrastruktur, Wajah Ibu Kota Provinsi yang terletak di sofifi bagaikan tempat kumuh. Hingga memasuki Tahun 2024, Ibu Kota Sofifi hanya sebatas dijadikan tempat persinggahan bagi para pejabat dilingkup Pemerintahan Provinsi Maluku Utara.
Sejarah Provinsi Maluku Utara tidak dapat dipisahkan dari keberadaan empat kerajaan besar Islam di Timur Indonesia.
Kerajaan tersebut terdiri dari Kesultanan Bacan, Kesultanan Jailolo, Kesultanan Tidore, dan Kesultanan Ternate.
Melihat kondisi Maluku Utara dari tahun ke tahun, hingga memasuki usia ke 25 Tahun. Nampak Ibu Kota Provinsi yang terletak di Sofifi, hanya sebatas berdirinya bangunan-bangunan pemerintahan, tanpa adanya aktifitas perekonomian yang memadai.
Selain macetnya Aktifitas perekonomian di Ibu Kota Provinsi Maluku Utara, beragam masalah juga terus mengintai Maluku Utara yang kaya akan sumberdaya alam, yang dikelola oleh perusahaan-perusahaan tambang.
Masalah akan pengelolaan birokrasi, disparitas pembangunan, sampai pada masalah ekonomi yang membuat kemiskinan di Maluku Utara terus bertumbuh. Hingga berakhir dengan perampokan uang negara di Tahun 2024, yang dilidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Republik Indonesia.
Kondisi birokrasi Maluku Utara yang semakin kronis, membuat Sultan Tidore, H. Husain Alting Syah harus turun tangan untuk mengambil bagian, demi keselamatan dan kejayaan Maluku Utara.
Peran dan niat baik Sultan ini, kemudian disambut oleh Partai Besutan Megawati Soekarno Putri yang kita kenal dengan sebutan PDI Perjuangan.
Untuk menjadi Pemimpin Pemerintahan di Maluku Utara, Sultan harus mengikuti proses demokrasi yang ditetapkan oleh Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) melalui Undang-Undang Pilkada.
Kini, Sultan telah memenuhi syarat untuk dicalonkan sebagai Gubernur Maluku Utara lewat tangan PDIP, yang dimotori oleh Muhammad Sinen selaku Ketua DPD PDIP Provinsi Maluku Utara.
Kehadiran Sultan di bursa pencalonan Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi Maluku Utara 2024, memantik reaksi publik terutama di kalangan adat dan masyarakat akar rumput atas harapan kemajuan Maluku Utara kedepan.
Sebab pemilu berganti pemilu, Masyarakat Maluku Utara, wabil khusus dilingkar Ibu Kota Sofifi, hanya sebatas menelan janji pahit dari setiap periodesiasi kepemimpinan Gubernur dan Wakil Gubernur Maluku Utara.
Harapan akar rumput, masyarakat adat dan kelompok-kelompok intelektual yang mencintai perubahan dengan semangat menyelematkan Maluku Utara, mulai nampak di depan mata.
Kehadiran Sultan, adalah kado istimewa bagi Masyarakat Maluku Utara yang dipersembahkan untuk Indonesia. Sebab, tanpa peran kesultanan/kerajaan di Maluku Utara, Indonesia mungkin hanya sebatas khayalan.
Di momentum Pilkada 2024 ini, Penulis ingin berterimakasih kepada PDIP yang selalu pasang badan untuk Sultan, meskipun PDIP harus ditinggalkan sendiri oleh Partai-Partai besar lainnya, yang telah lama begelut dalam dunia perpolitikan di Indonesia.
Selain PDIP, penulis juga berterimakasih kepada tokoh adat di Maluku Utara, seperti Sultan Jailolo yang bersedia memenangkan Sultan Tidore sebagai Gubernur Provinsi Maluku Utara, sebagaimana dilansir dalam sebuah media online Sentranews.id, bertajuk “Dukung Saudaranya, Sultan Jailolo Sebut “Jou Tidore Harga Mati!”.
Semoga Sultan Tidore, dapat menjadi harapan bersama untuk kemajuan dan kejayaan Maluku Utara.
MERDEKA 100 PERSEN.
(Opini Diluar Tanggungjawab Redaksi)