Bagaimana Politik Uang Mempengaruhi Pilihan Rakyat dari Perspektif Psikologi

Ilustrasi.

Oleh: Ilhamsyah Muhammad Nurdin
Mahasiswa Magister Psikologi UAD

Faktual.Net, Kendari — Dalam beberapa bulan ke depan, tepatnya pada 27 November 2024, Indonesia akan melangsungkan pemilihan kepala daerah (Pilkada) serentak. Seperti pemilihan sebelumnya, isu politik uang kembali mencuat dan menghantui demokrasi kita.

Fenomena ini menjadi seperti penyakit menahun yang sulit disembuhkan, di mana janji-janji uang bertebaran untuk mengarahkan pilihan masyarakat. Tapi, pernahkah kita berpikir apa yang sebenarnya terjadi dalam pikiran kita saat tergoda oleh politik uang? Bagaimana dampaknya bagi kita secara psikologis? Dan mengapa kita harus menolaknya?

Politik Uang: Menghancurkan Otonomi Pikiran

Secara psikologis, politik uang beroperasi dengan memanipulasi proses pengambilan keputusan seseorang. Uang, yang seharusnya menjadi alat untuk memenuhi kebutuhan, diperalat untuk menekan kebebasan berpikir.

Saat seseorang menerima uang dari calon tertentu, ada dua hal yang terjadi: rasa terima kasih dan rasa kewajiban yang muncul di bawah sadar.

Seseorang yang diberi uang cenderung merasa berhutang budi, dan akhirnya merasa terdorong untuk memilih calon yang memberi uang tersebut. Ini yang disebut dengan “perangkap moral,” di mana uang menjadi pengikat yang membatasi kebebasan pilihan.

Dalam psikologi, ada fenomena yang disebut dengan cognitive dissonance, yaitu ketidaknyamanan mental ketika kita memegang dua keyakinan yang bertentangan.

Misalnya, kita tahu bahwa politik uang salah, tetapi kita tetap menerimanya. Untuk meredakan ketidaknyamanan ini, kita akan mencari pembenaran, seperti mengatakan pada diri sendiri, “Semua orang melakukannya,” atau “Hanya sekali ini saja.” Ini adalah perangkap psikologis yang membuat kita semakin larut dalam sistem yang korup.

Mengapa Kita Mudah Terjebak?

Politik uang bekerja karena memanfaatkan kelemahan psikologis manusia, yaitu kecenderungan kita untuk mencari kepuasan instan. Dalam teori psikologi, ini dikenal sebagai short-term gratification, di mana kita lebih memilih imbalan langsung daripada keuntungan jangka panjang.

Ketika seseorang menawarkan uang dalam Pilkada, imbalan tersebut terasa nyata dan langsung, sementara dampak memilih calon yang salah tampak jauh dan tidak langsung. Ini membuat orang lebih rentan tergoda, terutama di masyarakat dengan tingkat ekonomi yang masih sulit.

Namun, masalahnya tidak berhenti di situ. Ketika politik uang menjadi kebiasaan, ada efek jangka panjang yang menghancurkan—yakni rusaknya kepercayaan sosial.

Baca Juga :  Dugaan Mafia Tanah di Morowali Utara , Tim Advokat Kritisi Kinerja DPRD Sulteng

Dalam psikologi sosial, kita mengenal konsep social trust atau kepercayaan sosial, yang merupakan fondasi utama dalam masyarakat yang sehat.

Politik uang merusak kepercayaan ini karena menciptakan ketidakpastian: apakah orang memilih karena keyakinannya, atau hanya karena uang? Ketidakpastian ini pada akhirnya menciptakan kecurigaan di antara masyarakat, sehingga kita sulit membangun solidaritas yang kuat.

Uang Bukan Jaminan Keberhasilan Pemimpin

Mari kita bayangkan apa yang terjadi setelah pemimpin terpilih berkat politik uang. Apakah kita bisa berharap pemimpin tersebut akan benar-benar memperhatikan kita? Psikologi menunjukkan bahwa manusia cenderung berperilaku sesuai dengan motif awal mereka.

Jika seseorang terpilih karena menggunakan uang, motivasi mereka untuk melayani publik akan jauh lebih rendah dibandingkan dengan mereka yang terpilih karena keyakinan dan visi.

Dalam psikologi kepribadian, ada istilah self-serving bias, yaitu kecenderungan untuk memprioritaskan kepentingan diri sendiri di atas orang lain.

Pemimpin yang berkuasa karena politik uang akan lebih mungkin menggunakan posisinya untuk memperkaya diri atau kelompoknya, karena sejak awal niat mereka bukanlah untuk melayani, melainkan untuk memanfaatkan kekuasaan.

Psikologi Masyarakat yang Sehat

Jika kita ingin melihat masyarakat yang sehat dan demokrasi yang berkualitas, kita harus menanamkan sikap kritis dalam diri kita.

Sikap kritis ini dimulai dengan mengenali bahaya politik uang dan menolak tawaran semacam itu. Kita perlu menyadari bahwa menerima uang dari calon pemimpin tidak hanya memengaruhi diri kita sendiri, tetapi juga mempengaruhi masa depan daerah kita.

Dalam psikologi, ini dikenal dengan locus of control, yaitu sejauh mana kita merasa memiliki kendali atas hidup kita. Masyarakat yang terjebak politik uang cenderung memiliki external locus of control, di mana mereka merasa nasib mereka ditentukan oleh pihak luar, dalam hal ini adalah uang yang diberikan oleh calon pemimpin.

Sebaliknya, kita perlu mengembangkan internal locus of control, yaitu keyakinan bahwa kita memiliki kendali atas pilihan kita sendiri.

Menolak politik uang adalah langkah pertama dalam membangun kemandirian berpikir. Kita harus menyadari bahwa pilihan kita dalam Pilkada bukan hanya tentang siapa yang memberi uang, tetapi tentang siapa yang benar-benar memiliki visi untuk membawa perubahan positif.

Baca Juga :  Polda Sulteng Serius Tangani Kasus Dugaan Korupsi Bansos

Mengatasi Kelemahan Psikologis

Jadi, bagaimana kita bisa melawan godaan politik uang? Psikologi memberikan beberapa solusi yang bisa kita terapkan.

Pertama, kita perlu mengembangkan kesadaran akan delayed gratification—kemampuan untuk menunda kepuasan jangka pendek demi manfaat jangka panjang. Dalam konteks Pilkada, ini berarti menolak uang saat ini demi masa depan yang lebih baik bagi daerah kita.

Kedua, kita bisa memperkuat moral conviction, yaitu keyakinan moral yang kuat tentang pentingnya demokrasi yang bersih. Ketika kita memiliki keyakinan moral yang teguh, godaan politik uang akan terasa lebih lemah.

Ini bisa dilakukan dengan mendidik diri kita sendiri dan orang-orang di sekitar kita tentang pentingnya integritas dalam memilih pemimpin.

Ketiga, kita harus mendukung calon yang tidak menggunakan politik uang. Dalam teori psikologi, ada konsep social proof, di mana kita cenderung mengikuti apa yang dilakukan oleh orang lain. Jika kita bisa membangun gerakan sosial yang menolak politik uang, hal ini akan menciptakan tekanan sosial bagi calon pemimpin untuk bertindak jujur dan transparan.

Ketika semakin banyak orang menolak politik uang, semakin besar pula kemungkinan politik uang bisa dikalahkan. Oleh karena itu, politik uang tidak hanya merupakan ancaman bagi demokrasi, tetapi juga membawa dampak buruk terhadap psikologi individu dan masyarakat.

Dari ketergantungan emosional hingga kerusakan harga diri dan solidaritas sosial, politik uang menghancurkan inti dari partisipasi politik yang sehat.

Kita semua memiliki tanggung jawab untuk menolak politik uang dan mendukung proses politik yang bersih dan adil.

Pada Pilkada serentak 27 November 2024, mari kita gunakan hak suara kita dengan bijak dan menolak segala bentuk politik uang. Masa depan kita ada di tangan kita sendiri, dan tidak boleh dijual dengan harga berapa pun.(**)

Tanggapi Berita Ini