Oleh: Ilhamsyah Muhammad Nurdin
Mahasiswa Magister Psikologi UAD.
Faktual.Net, Kendari — Kasus yang menimpa Supriyani, seorang guru honorer di Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara, mencerminkan bagaimana hukum dapat diperalat dan keadilan menjadi ilusi ketika kekuasaan terlibat.
Sejak awal, kasus ini tampak penuh dengan kejanggalan. Mulai dari tuduhan pemukulan terhadap seorang siswa yang sangat mungkin dipaksakan, hingga proses hukum yang cacat, Supriyani telah menjadi korban dari sistem yang lebih condong pada kekuasaan daripada kebenaran.
Analisis psikologis terhadap situasi ini memberikan perspektif lebih dalam tentang bagaimana kasus ini bukan hanya sebuah masalah hukum, tetapi juga masalah psikologis yang mendalam terkait dengan dinamika kekuasaan, emosi, dan manipulasi sosial.
Dinamika Kekuasaan dan Keterlibatan Emosi dalam Kasus Hukum
Kasus ini dimulai dari tuduhan Supriyani yang dituduh memukul seorang siswa, anak dari seorang perwira polisi, Aipda Hasyim Wibowo. Dari sini, kita bisa melihat dinamika kekuasaan yang berperan besar.
Dalam psikologi sosial, ada istilah power distance atau jarak kekuasaan, yang menggambarkan seberapa jauh hubungan kekuasaan antara individu dan pihak berwenang.
Di Indonesia, jarak kekuasaan ini cenderung tinggi, artinya orang-orang dalam posisi kekuasaan cenderung tidak tersentuh oleh hukum atau memiliki pengaruh besar dalam penanganan kasus-kasus seperti ini.
Secara psikologis, kekuasaan sering kali membuat seseorang merasa memiliki kendali atas orang lain dan situasi. Dalam kasus Supriyani, keterlibatan seorang perwira polisi yang berkuasa dapat memengaruhi jalannya proses hukum. Kemungkinan besar, ada keterlibatan emosi pribadi yang menyulut tindakan Aipda Hasyim untuk menekan proses hukum.
Dalam teori psikologi emosi, emosi negatif seperti marah atau frustrasi dapat membuat seseorang lebih rentan dalam mengambil keputusan yang tidak rasional, bahkan cenderung manipulatif.
Manipulasi Kognitif dan Distorsi Persepsi
Salah satu aspek yang mengejutkan dari kasus ini adalah berubahnya pernyataan anak terkait penyebab luka yang dialaminya. Pada awalnya, sang anak mengaku bahwa luka di pahanya berasal dari bermain di sawah, namun pernyataannya berubah setelah dibicarakan dengan ayahnya.
Fenomena ini dapat dijelaskan melalui teori cognitive bias atau distorsi kognitif, yaitu kesalahan berpikir yang dapat memengaruhi persepsi seseorang.
Dalam kasus ini, besar kemungkinan bahwa sang anak mengalami manipulasi kognitif dari ayahnya. Dalam psikologi, hal ini dikenal sebagai memory conformity, di mana seseorang mengubah ingatannya sesuai dengan informasi atau tekanan yang diberikan oleh pihak lain.
Anak tersebut mungkin merasa tertekan atau takut mengecewakan ayahnya, seorang figur otoritas, sehingga dia mengubah ceritanya untuk menyesuaikan dengan ekspektasi. Tekanan sosial dari keluarga dan situasi emosional juga turut memperparah distorsi persepsi ini.
Ketidakadilan dalam Sistem Hukum dan Dampak Psikologis pada Korban
Kasus Supriyani tidak hanya menunjukkan bagaimana keadilan dapat dimanipulasi, tetapi juga bagaimana hal ini berdampak secara psikologis pada korban.
Sejak awal, Supriyani dan saksi-saksi lain telah memberikan keterangan yang jelas bahwa tidak ada pemukulan yang terjadi. Namun, keterangan-keterangan ini diabaikan, dan bukti fisik yang meragukan tetap digunakan dalam dakwaan.
Dari perspektif psikologis, perlakuan semacam ini dapat menimbulkan trauma bagi korban, terutama jika mereka merasa tidak didengar atau diperlakukan secara tidak adil.
Dalam teori stres dan trauma, ketidakadilan dapat menyebabkan learned helplessness, yaitu kondisi di mana seseorang merasa bahwa apapun yang mereka lakukan tidak akan mengubah situasi, sehingga mereka merasa tidak berdaya.
Perasaan ini bisa berdampak jangka panjang, memengaruhi kesehatan mental korban, seperti menimbulkan kecemasan, depresi, atau bahkan PTSD (Post-Traumatic Stress Disorder).
Selain itu, ada juga dampak psikologis pada siswa dan lingkungan sekolah. Siswa yang melihat gurunya diperlakukan secara tidak adil mungkin mulai meragukan integritas sistem hukum, dan ini bisa memengaruhi cara mereka melihat otoritas di masa depan.
Di sisi lain, tekanan emosional pada guru lain yang mengetahui bahwa kebenaran telah dikesampingkan juga tidak bisa diabaikan.
Pembelajaran dari Kasus Ini. Dari kasus ini, kita bisa menarik beberapa pelajaran penting.
Pertama, pentingnya transparansi dan integritas dalam proses hukum. Keadilan tidak hanya harus ditegakkan, tetapi juga harus terlihat tegak. Ketika masyarakat melihat keadilan dilanggar, kepercayaan terhadap sistem hukum akan menurun, dan ini dapat memicu kerusakan sosial yang lebih besar.
Kedua, kasus ini menunjukkan pentingnya keseimbangan emosi dalam penegakan hukum. Ketika emosi pribadi dan kekuasaan bermain dalam proses hukum, hasilnya cenderung merugikan pihak yang lebih lemah.
Oleh karena itu, polisi dan pihak berwenang perlu dilatih dalam pengelolaan emosi dan etika profesional yang ketat untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan.
Akhirnya, kasus ini memberikan pelajaran bagi masyarakat bahwa dalam setiap masalah hukum, perlu ada pemeriksaan yang cermat terhadap bukti dan saksi.
Penilaian yang terburu-buru dan tekanan sosial dapat membuat keadilan tergelincir dari jalurnya. Kita harus selalu waspada terhadap potensi manipulasi, baik dari sisi kekuasaan maupun dari aspek emosi manusia.
Kasus Supriyani bukan sekadar tentang seorang guru yang dituduh memukul, tetapi adalah cerminan dari bagaimana ketidakadilan dapat terjadi jika sistem hukum tidak berjalan sesuai dengan prinsip keadilan yang sejati.(**)