Opini  

Riwayat Demokrasi dan Kebebasan : Kasus Inggris, Amerika Serikat, dan Asia-Afrika

Oleh : Denny JA

Masa Depan Kebebasan

Denny JA tentang buku yang Ditulis oleh Fareed Zakaria

(Esai ini mengedit seperlunya tulisan asli di Facebook Esoterika-Islamika, yang diasuh AE Priyono)

Demokrasi dan kebebasan tidaklah lahir begitu saja dari para filsuf dan pemikir yang merumuskannya di belakang meja. Baik demokrasi ataupun kebebasan justru buah dari pertarungan besar yang acapkali berdarah antara aneka kelompok kepentingan.

Di Inggris, baik demokrasi ataupun kebebasan harus lahir dengan meruntuhkan dahulu feodalisme dan kerajaan diktatorial. Sedangkan di Amerika Serikat, datangnya demokrasi dan kebebasan lebih mudah karena negara itu tak memiliki tradisi feodalisme yang kuat, apalagi kerajaan diktatorial.

Di Inggris, keluarga kerajaan, para aristokrat tuan tanah, dan kelas borjuasi pedagang yang lahir karena datangnya kapitalisme menjadi sumbu politik.

Berbeda dengan kelas aristokrat tuan tanah yang jumlahnya tetap kecil, kelas borjuasi terus membengkak dan berkembang menjadi besar. Di Inggris, kelas tuan tanah aristokrat, sampai akhir abad ke-18, tetap berjumlah terbatas, sekitar 200 orang saja. Hampir semua mereka menguasai House of Lords, atau setidaknya saling bergiliran mendudukinya.

Berbeda dengan itu, House of Commons mewakili anggota kelas berjuasi yang semakin tumbuh pesat. Mereka ini berasal dari kalangan bisnis, kaum profesional, atau petani kaya. Mereka sering disebut “English gentry.” Banyak di antara mereka akhirnya memutuskan untuk memasuki kehidupan publik, salah satunya dengan cara masuk menjadi anggota parlemen, House of Commons.

Mereka inilah yang terus menyuarakan pentingnya reformasi Inggris dan menyerukan doktrin pasar bebas, perdagangan bebas, hak-hak individual, dan kebebasan beragama.

Pada abad ke-19, kaum borjuasi Inggris menguasai politik, dan bahkan menjadi trend-setter dalam kehidupan publik. Tiga orang Perdana Menteri Inggris yang sangat berpengaruh – Robert Peel, William Gladstone, dan Benjamin Disraeli – berasal dari kelas borjuasi. Kelas baru ini benar-benar mengadopsi gaya hidup aristokrasi – rumah manor, jas-pagi, berburu – tetapi dengan cara yang lebih cair dan fleksibel.

Seorang dayang perempuan yang bekerja di istana Inggris pernah ditanya Raja James I, apa yang dia harapkan jika anak lelakinya sudah besar nanti. Dayang itu menjawab, bahwa ia menginginkan putranya jadi “gentleman” Inggris – sebutan lain untuk gaya hidup berjuasi.

Raja James menyergah: “Gentleman? Wah … saya sendiri bahkan tidak akan pernah bisa menjadi seperti itu, saya hanya bisa membuatnya jadi seorang bangsawan.”

***

Sejarah Inggris menuju demokrasi liberal sangat khas, tapi sejarah Amerika adalah kasus khusus di antara yang khusus.

Kaum aristokrat tuan tanah Inggris rupanya memiliki tanah-tanah luas pula di Amerika. Mereka membangun pemerintahan yang menyerupai pemerintahan Inggris, dengan parlemen yang kuat, yang dikuasai kelas aristokrat. Dalam pengertian ini, Amerika memang adalah koloninya Inggris.

Tapi sejak abad ke-18, masyarakat Amerika, yang sebagian besar juga berasal dari Inggris itu, karena pertumbuhan kapitalisme yang pesat, menjadi masyarakat kelas menengah. Mereka sering melihat kesewenang-wenangan kelas tuan tanah aristokrat kolonis.

Revolusi sosial Inggris pada 1688 memenangkan kelas aristokrat tuan tanah progresif melawan monarki, kemenangan yang kemudian juga didukung oleh kelas borjuasi. Di Amerika, revolusi pada 1776 memenangkan kelas menengah borjuis melawan tuan-tuan tanah aristokrat kolonis. Dari sini jalan menuju demokrasi liberal konstitusional Amerika dimulai.

Dalam pengertian itulah Amerika adalah Inggris tanpa feodalisme. Amerika banyak memiliki orang kaya, keluarga-keluarga tuan tanah, namun demikian mereka tidak memiliki gelar, tidak memiliki hak-kelahiran sebagai bangsawan. Kelas kaya Amerika ini disebut oleh seorang sejarawan, Richard Hofstader, sebagai “kelas menengah dunia.”

Di Amerika, elemen aristokratik dalam ekonomi dan masyarakat, jarang menjadi kekuatan dominan. Yang dominan adalah kelas menengah. Merekalah yang menjadi pembentuk cita-cita dan cita-rasa zaman. Revolusi Amerika adalah ciptaan kelas menengah ini – sebuah revolusi yang disebut sebagai “ledakan kekuatan enterpreuner.”

Tanpa masa lalu feodal, Amerika tidak membutuhkan revolusi sosial untuk terciptanya tatanan politik baru.

Ratusan tahun tanpa struktur kekuasaan monarki dan golongan aristokrasi, bangsa Amerika tidak membutuhkan revolusi sosial yang penuh kekerasan untuk menumbangkan tatanan kekuatan lama, dan menciptakan pemerintahan sentral yang kuat.

Di Eropa kaum liberal selalu kuatir pada kekuasaan negara meskipun selalu memfantasikannya. Mereka telah berjuang untuk membatasi kekuasaan negara, dan bersamaan dengan itu memodernisasikan masyarakatnya.

Kata Tocqueiville, keuntungan terbesar bangsa Amerika adalah bahwa mereka sudah tiba pada keadaan demokrasi tanpa harus mengalami revolusi demokratik. Mereka sudah lahir setara tanpa harus memperjuangkan kesetaraan itu.

Sampai abad ke-19, Amerika dan Eropa sebenarnya belum menjadi demokratis, khususnya dalam pengertian liberal konstitusional.

Pada 1832, baru 1,8% penduduk laki-laki di Inggris memiliki hak suara. Pada 1867 meningkat jadi 6,4%; lalu meningkat lagi jadi 12,1% pada 1884. Begitu pula kaum perempuan secara terbatas baru memiliki hak pilih pada 1930.

Di Amerika pada 1824 – 48 tahun setelah merdeka – Amerika juga baru memberikan hak pilih kepada kaum laki-laki dewasa kulit putih kaya. Itu artinya hanya 5% dari seluruh penduduk yang berhak memilih Presiden. Minoritas kulit hitam baru memiliki hak terbatas di kalangan lelaki dewasa kaya pada 1870. Sementara itu kaum perempuan juga baru memiliki hak pilih terbatas pada 1920.

Tradisi demokrasi liberal konstitusional di bagian Eropa yang lain muncul jauh lebih terlambat dibandingkan Inggris dan Amerika.

Sebagian besar kawasan Eropa selain Inggris baru menjadi negeri-negeri demokrasi liberal setelah Perang Dunia I. Mereka menggunakan Inggris sebagai modelnya.

Tapi meskipun demikian, Eropa pada masa liberal konstitusional itu memiliki rezim-rezim yang jauh lebih liberal dibandingkan kawasan-kawasan Asia dan Afrika. Aneka Monarki di Eropa memiliki kekuasaan yang dibatasi oleh hukum.

Warga negara di Eropa memiliki hak-hak sipil dan politik, sesuatu yang di Asia dan Afrika sulit dibayangkan. Masyarakat sipil yang terdiri dari kegiatan-kegiatan usaha privat, gereja-gereja, universitas-universitas, dan gilda-gilda sudah tumbuh.

Begitu juga serikat-serikat sosial bisa berdiri tanpa campur tangan negara. Keadaan seperti ini memang memberikan basis bagi tumbuhnya sistem politik liberal konstitusional yang mulai benar-benar muncul setelah Perang Dunia II.

Ini tidak terjadi di kawasan manapun di dunia. Di Asia dan Afrika, kekuasaan monarki berlangsung tanpa pembatasan hukum. Despotisme masih menjadi norma di mana-mana.

Karena kekayaan privat dilindungi maka kegiatan-kegiatan usaha yang bebas tumbuh pesat. Begitulah, pasar bebas dan kapitalisme lahir dari tradisi kebebasan sipil di dalam masyarakat sipil yang relatif otonom dari campur tangan negara.

Ini tidak pernah ada di tempat lain, juga di Asia dan Afrika. Perekonomian di Asia dan Afrika adalah perekonomian feodal dan despotis, yang seluruhnya berpusat pada kekuasaan kaum elit feodal.

Barat, dalam hal ini Eropa dan Amerika, sepenuhnya menjadi tanah air kebebasan. Meskipun kebebasan sipil dan politik di Eropa sering lebih nyaring diperdengarkan dalam teori ketimbang dalam praktek nyata, tetap saja kebebasan di Eropa sampai pertengahan abad ke-20 jauh lebih maju dibandingkan di bagian dunia lainnya.

Sejarah kebebasan Barat akhirnya menjadi panduan bagi munculnya kemerdekaan di mana-mana. Ini berarti Barat membawa harapan bagi dikembangkannya model untuk terciptanya demokrasi liberal. Dengan kata lain, menjadi bagian dari Barat – betapapun periferalnya – tetap lebih memberikan keuntungan politik, dibandingkan menjadi bagian dari sistem non-Barat.

Matahari terbit dari timur, tapi Kapitalisme yang membawa demokrasi dan kebebasan terbit dari barat. Ilmu pengetahuan dan perdagangan yang lebih produktif, efisien juga lahir dari barat.

Seperti sungai, kultur ekonomi, politik dan budaya barat mengalir sampai jauh. Ia mengalir hingga ke negara Asia-Afrika. Dibawanya serta tak kapitalisme. Dibawa pula fantasi demokrasi. Diajaknya pula fantasi kebebasan.

*Penulis adalah Konsultan Politik, Founder LSI-Denny JA, Tokoh Media Sosial, dan Penulis Buku.

Tanggapi Berita Ini