Faktual.Net, Opini – Dengan rendahnya minat baca masyarakat sangat membutuhkan adanya wadah dan fasilitas belajar yang memadai juga penggerak yang tulus dan militan.
Pendidikan sekolah yang formal harus dibantu dengan pendidikan Non formal dan informal.
Seperti kata Bapak Pendidikan Indonesia “Ki Hajar Dewantara ” Apapun yang dilakukan oleh seseorang itu.
Hendaknya dapat bermanfaat bagi dirinya sendiri, bermanfaat bagi bangsanya, dan bermanfaat bagi manusia di dunia pada umumnya.
Sementara setiap orang menjadi guru, setiap rumah/tempat menjadi sekolah.
Seperti halnya mereka yang tak mengenal lelah, siang dan malam, karena kecintaannya terhadap kampung moyangnya.
Dia melakukan kerja yang sebagian orang enggan memikirkannya, demi sebuah perubahan masyarakat cerdas dan mandiri.
Kepentingan dan kebutuhan sering kali tak sesuai harapan. Bahkan lebih banyak terabaikan
Berangkat dari sebuah amanah sebagai mana dengan tujuan negara ini untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.
Tak memikirkan musim dalam medan yang sulit, hujan atau kemarau, mengabaikan kebahagiaan dan kebersamaan bersama keluarga demi cita-cita mulia.
Berangkat pagi, pulang malam, bahkan harus bermalam karena perjalanan butuh waktu dan nyali serta semangat.
Dari pelosok ke pelosok melihat dan membaca kehidupan sambil menitipkan banyak ilmu pengetahuan melalui buku maupun cerita yang mengedukasi di Desa.
Nampaknya membangun komunikasi kepada pemuda desa dan memotivasi untuk menciptakan taman baca sumber pengetahuan.
Menjadi motivator yang baik memberikan semangat bagi para pemula, mendidik dengan kelembutan, mengajarkan kemandirian agar pemuda tak tergantung dan menggantungkan hidupnya.
Ia mampu berdaya dan memberdayakan, semua bisa katanya disetiap diskusi kecil di desa di taman baca yang berhasik didirikannya secara mandiri.
Saat ini sudah banyak taman baca berdiri dengan modal semangat dan ketulusan akan perjuangan memperbaiki kehidupan literasi di daerahnya.
Bahkan sudah banyak taman-taman baca yang mendapat bantuan dari hasil diskusinya mengawal suara pemuda pegiat literasi desa yang saat ini mampu terbaca dan dikenali sampai ke ibu kota Indonesia.
Sehingga semua mata publik melihat hal itu, kita benar-benar diperhatikan dan pemuda literasi Sinjai benar merasakan manfaatnya.
Bahkan lewat prestasinya mampu mengangkat nama daerahnya Sinjai, Pemerintah provinsi dan pusat mengapresiasi kerja ikhlasnya.
Namun beberapa reaksi yang terjadi seperti kejam terhadapnya, keberpihakan, ego sektoral.
Dampak irisan irisan tipis yang mengubah tujuan dengan orientasi lain, kami merasa ironi, sedih, miris, geram dan gusar.
Beberapa informasi yang seharusnya tak ada hubungan dan keterkaitan dengan gerakan literasi yang selama ini berjalan.
kami kira, kami kembali ke masa lampau di zaman dalam cerita Minke dalam buku Roman Penyemaian saat membibitnya perlawanan pribumi akibat ketidak adilan dari penjajahan belanda.
Namun kami tetap bangga punya Rumah Dongeng Sinjai, biarkan kami terus membersamai, menebar cinta dan cerita dongeng untuk memberikan hiburan edukasi ke anak-anak pelosok bangsa.
Kita semua akan terus bergerak bersama mendirikan Taman Baca, pojok baca, teras baca agar aku, kamu, kita semua tetap bisa membaca dan menjadi pribadi bangsa yang lebih cerdas.
Jangan ada kata berhenti atau cukup Sekian. Terus bergerak untuk Sinjai Maju Bebas Buta Aksara. (*)