Penulis : Abednego Tri Gumono, M.Pd.
(Dosen Pendidikan Bahasa Indonesia Universitas Pelita Harapan Tangerang)
Faktual.net – Tangerang, Banten – Pantun menjadi salah satu genre puisi awal yang sangat populer di masyarakat. Cepatnya masyarakat menerima dan menyerap pantun ini dikarenakan adanya unsur bunyi yang sama. Birama yang teratur, membuat pantun enak didengar atau didendangkan. Harmoni yang kompak dan serasi menambah daya tarik tersendiri sehingga banyak digemari di tengah masyarakat kita.
Pantun lahir bersama dengan berbagai aktivitas atau peristiwa dalam suatu kelompok masyarakat. Penyebarannya terjadi secara lisan karena berlangsung dalam suatu kegiatan baik itu gotong royong, bermain, bekerja, maupun aktivitas spiritual.
Citromenggalan adalah sebuah dusun di Kelurahan Ngawen, Kecamatan Muntilan, Jawa Tengah. Jika ditarik garis lurus memanjang dari antara Candi Borobudur (barat daya) dan Candi Ngawen (Timur Laut), Citromenggalan berada dalam garis pada hampir ujung garis menuju Candi Ngawen tersebut. Jika dicapai dari Kota Muntilan, Dusun Citromenggalan berada pada jarak 3. 5 kilometer ke arah Selatan. Dengan demikian, secara geografis, Citromenggalan merupakan dusun yang strategis untuk mencapai tempat-tempat utama di sekitarnya seperti Borobudur, Mendut, Magelang, Muntilan dan beberapa wilayah Yogyaakarta.
Strata sosial anggota masyarakat Citromenggalan terdiri dari petani, sebagian kecil pegawai negeri guru, dan kelompok kecil yang disebut golongan priyayi. Dengan keragaman ini, dapat dikatakan bahwa masyarakat ini cukup dinamis. Kelompok kecil priyayi dan guru memacu semangat seluruh warga untuk menyekolahkan anak-anaknya sehingga segi pendidikan menjadi keutamaan warga. Orang tua bekerja sedemikian rupa agar anak-anaknya mengenyam bangku sekolah.
Bersamaan dengan proses sosial ekonomi tersebut lahirlah tembang yang bergaya pantun. Tembang pantun di Dusun Citromenggalan lahir di tengah aktivitas masyarakat sehingga dapat menjadi sarana nasihat, penyemangat, atau sekadar untuk bermain di kalangan anak-anak.
Melalui dialog dengan beberapa narasumber yang lahir di antara tahun 1964 hingga 1970, penulis mendapatkan beberapa pantun yang dapat diklasifikasikan sebagai berikut. Pertama pantun nasihat. Pantun ini digunakan oleh anak-anak pada saat bermain petak umpet.
Namun demikian, jika diperhatikan pada bagian isi, pantun ini memiliki nasihat atau pesan moral yang sangat mendalam yaitu jika hanya jalan-jalan dan menonton pengantin saja, kelak akan menjadi orang yang berarti atau tidak. Untuk lebih jelasnya, dapat diperhatikan pantun berikut ini.
Pantun Nasihat
Gotri alah gotri nogosari
Thiwul owal-awul jenang katul
Dolan awan-awan delok manten
Titenono besuk gede dadi opo
Dokcil dokrok kodok precil kodok berok
Tiga baris terakhir memberi petunjuk makna jika kecil sudah kawin, kalua besar akan jadi apa. Katak hijau (katak yang enak dimakan) atau jadi katak bengkerok yang tidak enak dimakan. Dengan demikian, pantun ini memberikan nasihat yang sangat penting bagi anak-anak agar kelak menjadi orang yang bermanfaat atau berhasil dalam hidup sehingga bisa menjadi berkah bagi banyak orang. Sebaliknya, jika menjadi katak bengkerok/katak hitam berarti tidak bisa menjadi orang yang berhasil.
Kedua, pantun penyemangat dalam bergotong royong. Sebagaimana diketahui masyarakat Citromenggalan memiliki budaya gotong royong yang sangat tinggi misalnya seperti di dalam membangun rumah, bersawah, atau peristiwa-peristiwa lainnya. Pada waktu membangun atau merenovasi rumah, para tetangga saling membantu tanpa imbalan sedikitpun. Disediakan makanan kecil dan makan siang, itu sudah sangat cukup. Penduduk setempat sepakat gotong royong ini dinamakan sambatan. Sambatan berasal dari kata sambat yang dapat diartikan saling meminta tolong.
Pada saat keluarga petani menanam tembakau, seluruh warga dengan sukarela membantu. Para orang tua memegang tugas utama yaitu menanam, anak-anak membantu menyediakan air dengan ember. Jadi, sebelum benih tembakau ditanamam, anak-anak mengairi ceruk tanah tempat tanaman.
Orang tua dan anak-anak sangat antusias menyambut masa tanam tembakau. Sebelum ke sawah, mereka berkumpul di jalan dan berangkat Bersama-sama sambil menyanyikan tembang bergaya pantun diiringi tetabuhan ember atau panci, membentuk irama jathilan. Tembang pantun tersebut, sebagai berikut.
Pantun Penyemangat Gotong Royong
Manuk bligo mencok nang kretek
Uwur mbako wetenge warek
Tembang pantun tersebut diyanyikan baik pada saat berangkat maupun pulang. Mereka tidak memikirkan upah. Berkegiatan bersama sudah menjadi kebahagiaan tersendiri. Di dalam keragaman status sosial, agama, dan umur semua bersatu, rukun, dan erat sekali. Nilai-nilai kesatuan dan kerukunan jelas sangat utama dalam gotong royong tersebut. Perbedaan agama misalnya tidak dipikirkan dan bukan penghalang untuk saling membantu.
Ketiga, dalam perkembangannya, penduduk Citromenggalan semakin kompetitif dalam arti semakin gigih dalam berjuang menghadapi perkembangan ekonomi. Mereka harus bekeja keras agar dapat memenuhi kebutuhan ekonomi di tengah kemajuan zaman ini. Kebutuhan untuk hidup, bersosial, menyekolahkan anaknya memicu semangat disiplin dan bekerja sungguh-sungguh. Di tengah situasi semacam ini lahir tembang pantun singkat yang menggambarkan betapa penduduk Citromenggalan harus berjuang dengan gigih. Berikut ini adalah gambaran bagaimana kelompok masyarakat untuk mendapatkan uang. Biasanya, ini lakukan para petani.
Pantun Penyemangat Bekerja
Sepulu ewu
Limolas ewu
Direwangi awake keju
Tembang pantun ini dengan lugas mengatakan bahwa untuk mendapatkan uang seluh ribu atau lima belas ribu rupiah, harus bekerja sampai badanya pagal-pegal di sawah. Uang yang dihasilkannya pun secara kebetulan disumbangkan untuk pembangunan gudang penyimpanan perlengkapan warga.
Tembang pantun sebagai kekayaan karya satra khususnya sastra daerah di Citromenggalan merupakan bagian seni sastra yang menarik untuk dikaji karena melalui proses penciptaan yang dilahirkan dari semangat budaya warga setempat. Nilai-nilai ketulusan, keikhlasan, mencintai sesama, semangat bekerja keras adalah nilai hidup yang harus terus dipertahankan dan ditumbuhkembangkan, utamanya bagi kehidupan bersama demi kesatuan dan persatuan. Nilai-nilai tersebut harus dialihgenerasikan tanpa jeda agar tatanan kehidupan bersama dalam keragaman yang harmonis terus terjaga.
Tembang pantun di Dusun Citromenggalan memiliki nilai penting dalam sumbangannya terhadap bangsa dan negara yang terus berjuang menegakkan kesatuan dan persatuan agar tidak dapat digoyahkan oleh ilah semangat individual dan egosentrisme modern dan postmodern. Penghayatan nilai-nilai kemanusiaan yang mendalam harus tetap menjadi derap utama agar nilai kemanusiaan itu sendiri menjadi tiang bagi hidup bersama dalam keragaman. Tradisi bertembang pantun di masa sekarang telah hilang berganti dengan musim media sosial yang menjadi wadah ‘bermain’ anak-anak. Oleh karena itu, aktivitas berpantun perlu ditumbuhkembangkan kembali. Sekolah sebagai tempat tumbuhkembang anak-anak dapat menjadi sarana bagi pelestarian pantun di daerah sebagai kekayaan sastra nasional.
Keterangan:
gotri: peluru
alah: semacam kata penegas, memang
nogosari: makanan dari gandum dan pisang yang dikukus
dolan: main, jalan-jalan
awan: siang
dadi: jadi
manten: pengantin
kodok precil: katak hijau remaja yang enak dimakan
kodok bengkerok: katak yang tidak enak dimakan
manuk bligo: burung elang
mencok nang kretek: hinggap di jembatan
Uwur mbako: tanam tembakau
Wetenge warek: perutnya kenyang
Sepuluh ewu: sepuluh ribu
Limolas ewu: limabelas ribu.
Reporter: Johan S. / Endharmoko