Faktual.net – Jakarta Barat, Daerah Khusus Jakarta – Negara Kesatuan Republik Indonesia sampai kini sudah mengalami pergantian presiden hingga ke delapan kali.
Ada yang patut dicermati, bagaimana setiap akhir masa jabatan presiden hampir semuanya selalu mendapat citra negatif.
Malah ada tiga persiden bukannya sekedar mendapat citra negatif tetapi ketika turunpun ada pemaksaan (Cup de etat) seperti Presiden Ir. Soekarno melalui surat sebelas Maret (Supersemar 1955), Soekarno dipaksa turun bahkan harus menjalani tahanan rumah di Wisma Yoso hingga akhir hayatnya.
Kemudian berlanjut ke presiden ke dua Jenderal besar Soeharto dipaksa turun lewat demo para mahasiswa dan masyarakat akibat resesi ekonomi (1997).
Seteleh lengser Soeharto ditetapkan sebagai tersangka ditengarai ada korupsi di Yayasan Super Semar, sekalipun hingga akhir hidupnya Soeharto belum pernah mengikuti proses hukum.
Pengganti Soeharto presiden Ir. BJ. Habibie ditolak pertanggungjawabannya oleh MPR RI dianggap teledor saat memberikan jajak pendapat Timor Leste tahun 1999 yang mengakibatkan lepas dari Indonesia.
Kemudian Presiden Abdulrahman Wahid (Gus Dur) yang dipilih oleh MPR RI namun tragis Gus Dur pun diturunkan di tengah jalan, akibat kesalahan yang dicari-cari lawan politiknya.
Relatif tidak begitu dipersoalkan kala Megawati Soekarno Putri (presiden ke 5) turun dari tahta kepresidenan, akibat kalah bertarung dengan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mantan anak buahnya dalam pemilihan presiden (Pilpres) pertama kali dipilih langsung oleh rakyat tahun 2004.
Dua periode SBY memimpin, lantas bagaimana ketika turun dari tampuk kepemimpinan nasional, lagi-lagi mendapat cap yang negative.
Berbagai kebijakan yang dilakukan mendapat sorotan tajam dan dianggap presiden yang gagal memberantas korupsi, hal ini selalu dikaitkan dengan janji kampanyenya untuk katakan tidak pada korupsi.
Tragis orang-orang yang memerankan dalam iklan untuk katakan tidak pada korupsi itu malah tersangkut perkara korupsi. Seperti Andi Malarangeng, Anas Urbaningrum hingga Angelina Senduk. Dan yang paling panas yang kemudian menjadi olahan narasi negatif persoalan pembangunan wisma atlit Hambalang yang gagal dibangun karena terkena kasus korupsi.
Kini giliran Jokowi yang sewaktu naik menjadi presiden menggantikan SBY dielu-elukan apalagi saat periode pertama banyak orang menganggap inilah pemimpin yang menjadi jawaban Indonesia. Malah ada yang mengatakan ini ‘Satrio Peningit’ atau ‘Kristus” yang diutus yang akan membawa Indonesia menjadi bangsa yang makmur adil dan sejahtera.
Cara kerjanya yang ngga biasa-biasa citra keserdehanaan serta keberaniaan mengambil kebijakan yang seakan pro dengan wong cilik membawa harapan baru. Hampir semua tokoh bangsa memberikan dukungan dan apresiasi akan hadirnya wong cilik yang mampu meraih posisi sebagai orang nomor satu Indonesia.
Namun, semua tempik sorak dan decak kekaguman atas sosok yang di cap sederhana itu sirna sekalipun berdasarkan survey masih 75 hingga 80 persen tingkat kepuasaan masyarakat atas kinerja dari Jokowi diakhir masa jabatannya. Nyatanya setelah turun 20 Oktober 2024 serangan demi serangan diberondongkan ke orang asal Solo itu.
Berbagai kinerja negatif terus disuarakan seperti memperkosa konstitusi dengan keputusan Mahkamah konstitusi yang mengoalkan Gibran Rakabuming Raka menjadi calon wakil presiden, menggunakan aparat penegak hukum untuk menekan lawan-lawan politiknya serta campur tangannya dalam pemilihan presiden dan Pilkada.
Dan hari hari ini sedang marak mencap Jokowi sebagai koruptor berdasarkan hasil survey dari Organized Crime and Corruption Reporting Project (OCCRP) yang memasukan nama presiden RI ke 7 ini sebagai nominasi koruptor bersama lima finalis lainnya.
Sekedar tahu saja Organized Crime and Corruption Reporting Project (OCCRP) adalah organisasi non pemerintah yang berfokus pada investigasi kejahatan yang terorganisir dan korupsi. OCCRP didirikan pada tahun 2007 oleh wartawan investigasi Drew Sulivan dan Paul Radu yang merupakan organisasi jurnalisme investigasi terbesar di dunia. Saat ini OCCRP berkantor pusat di Amsterdam, Belanda.
Lembaga ini juga tersebar di seluruh Eropa, Afrika, Asia, dan Amerika Latin. Dilansir dari laman occrp.org, sepanjang kehadirannya OCCRP telah melakukan penyelidikan dan telah berkontribusi pada lebih dari denda 10 miliar yang dijatuhkan dan uang yang disita, 430 investigasi resmi, 820 tindakan resmi, 736 dakwaan, penangkapan, hukuman, 261 reaksi masyarakat sipil, 135 pengunduran diri dan pemecatan, dan 135 tindakan korporasi.
Apakah ini menjadi kutukan setiap presiden Indonesia atau hanya dikarenakan karena pimpinan lupa diri karena nafsu untuk berkuasa, kaya dan berlimpah harta sehingga lupa menjaga amanah yang diberikan.
Berangkat dari sejarah ini diharapkan bagi presiden-presiden selanjutnya termasuk saat ini Prabowo Subianto bisa belajar, bahwa kekuasaan itu bak kaca yang rentan pecah harusnya dirawati dengan baik, dipertanggungjawabkan bukan hanya saat berkuasa tetapi setelahnya.
Ada pepatah yang mengatakan menjaga nama baik lebih berharga dari pada kekayaan (Amsal 22:1).
Apalagi Pak Prabowo dengan jiwa patriotismenya yang sudah lama ingin membaktikan diri jiwa dan raganya untuk Indonesia yang kuat, sejahtera adil dan makmur. Semangat inilah yang akan menjadi bekal baik dalam pengabdiannya sehingga kelak jika turun dari jabatannyapun yang diingat orang hanya kebaikan dan sikapnya yang tulus membangun bangsa dan negaranya.
Penulis Yusuf Mujiono
Ketua umum Pewarna Indoneisia.