Ditulis Oleh: Amato Assagaf
Faktual.Net, Manado, Sulut – Nama Provinsi Maluku Utara dan ayahku seperti pada tahun-tahun yang telah lalu, tahun ini kami kembali menerima
undangan dari Pemerintah daerah Provinsi Maluku Utara untuk menghadiri acara ulang tahun ke-21 Provinsi Maluku Utara.
Seperti juga pada tahun-tahun yang telah
berlalu, undangan itu ditujukan pada sebuah nama yang telah menjadi abadi dalam jiwa kami, Arifin Assagaf. Beliau adalah ayahku dan juga ayah dari enam saudaraku yang lain.
Ada dua kakakku yang menjadi warga Maluku Utara, seorang di Ternate dan seorang lagi di Jailolo. Mereka selalu mewakili ayahku untuk hadir dalam acara yang sama di tahun-tahun sebelum ini. Tapi tahun ini, oleh satu dan lain alasan, tampaknya tidak ada dari keduanya yang bisa memenuhi undangan itu. Gundah atas hal itu dan tak ingin mengecewakan pengundang, aku membuat tulisan ini sebagai ganti kehadiran kami.
Sebuah Nama…
Dalam kerangka pembicaraan mengenai Maluku Utara, Arifin Assagaf mungkin
hanya sebuah nama yang tidak terlalu penting ketika yang kita bicarakan adalah masa depan Maluku Utara sebagai bagian dari sebuah republik yang tengah
bergerak maju di antara bangsa-bangsa di dunia. Tapi nama yang sama bisa punya
banyak arti ketika yang kita bicarakan adalah harapan yang sekali pernah hidup
dalam imajinasi setiap orang yang memandang Maluku Utara sebagai bagian yang terus menjadi dari dirinya sendiri.
Setidaknya, seperti itulah Maluku Utara dalam kepala sang kyai yang telah meninggal pada tahun 2015 lalu.
Tapi itu juga berarti aku tidak akan bicara tentang Maluku Utara sebagai apa saja yang obyektif, aku hanya akan bicara tentang Maluku Utara dalam kepala ayahku Arifin Assagaf.
Sebagaimana yang aku tahu lewat penggal demi penggal obrolan, kami dalam rentang 30-an tahun. Demikian pula, tidak ada bukti obyektif apapun yang bisa aku gunakan untuk mendukung apa yang akan aku bicarakan sebagai apa yang benar-benar berasal dari kepala almarhum kecuali kenyataan, yang bisa dibenarkan oleh banyak pihak, bahwa aku adalah anak kandung almarhum yang paling sering membicarakan hal-hal seperti ini dengan beliau.
Apa yang akan aku tuliskan ini hanya penggalan kecil dari pemikiran almarhum yang jauh lebih luas dan menyeluruh.
Untuk itu, kita bisa mulai dari sebuah pertanyaan sederhana, seperti apakah
Maluku Utara di dalam kepala seorang Arifin Assagaf? Ada banyak cerita dengan romantisme dan sentimentalitas yang sangat tampak dari almarhum mengenai Maluku Utara.
Bagaimanapun juga, beliau dilahirkan di tanah “Kie Raha” itu dan terikat di situ
dalam cara yang nyaris mustahil; setelah bertahun-tahun tinggal di Manado, beliau
tidak bisa sepenuhnya melepaskan ungkapan-ungkapan khas Maluku Utara dari lidahnya. Ketika menjadi dirinya yang paling pribadi, ungkapan seperti “os” untuk menyebut “kamu” atau “biskotu” dan berbagai istilah sejenis akan sering terdengar keluar dari mulut almarhum, dan itu diucapkan dalam dialeg Maluku yang cukup alamiah bagi orang yang telah terlalu lama meninggalkan Maluku Utara.
Artinya, seperti yang telah aku katakan, Maluku Utara adalah apa yang terus menjadi rangkaian dari dirinya sendiri. Tidak ada yang terlalu umum dalam cara beliau menggambarkan Maluku, tetapi juga
tidak pernah terlalu mendetail.
Jika bisa saya simpulkan, Maluku Utara di dalam kepala sang kyai adalah sebuah kenyataan yang diterimanya sebagai takdir, sesuatu yang begitu subyektif hingga tidak bisa direduksi menjadi semata peta geografis atau entitas kultural secara apa adanya. Baginya, Maluku Utara selalu adalah kosmos kenangan dan harapan yang saling tumpang tindih.
“Masa depan Maluku Utara adalah sejarahnya,” kata beliau (Ayah saya) suatu kali.
Sejarah Maluku Utara, baginya bisa aku simpulkan dengan yakin, adalah sejarah yang bergerak keluar dari catatan resmi. Yang bisa kita baca dalam buku-buku yang ada.
Sejarah Maluku Utara adalah juga rangkaian mitologi yang membentuk apa yang beliau sebut sebagai orang Maluku Utara yang unik pada dirinya sendiri. Dan sebagai mitologi, almarhum memiliki tafsirannya sendiri atas Maluku Utara. Kita tentu harus memaafkan bias Islam dalam tafsiran beliau.
Bias yang melihat Maluku Utara sebagai serangkaian narasi yang sudah begitu saja Islam. Bias yang menyulitkan bukan hanWya bagi catatan sejarah yang lebih ilmiah tapi bahkan bagi pengenalan mitologis kita atas Maluku Utara sebagai bagian dari milieu Nusantara.
Sedemikian sehingga saya sering menggoda beliau dengan pertanyaan, “Apakah Aba (baca: ayah) pikir Maluku Utara adalah bagian dari jazirah Arab yang pindah ke Timur Nusantara?” Almarhum tentu saja tidak berpikir seperti itu, tapi barangkali, ingin berpikir bahwa keislaman Maluku Utara adalah realitas yang sudah seperti itu.
Atau, jika harus memperhitungkan argumen beliau yang sangat subyektif soal itu, apapun yang mungkin mendahuluinya, kita mengenali Maluku Utara sudah seperti itu. Terlebih lagi, beliau adalah orang yang percaya bahwa Maluku Utara jauh lebih dulu Islam daripada Aceh dan Malaka.
Sebuah Negara Indonesia…
Lalu datanglah Indonesia, sebuah proyek kebangsaan yang dipercaya almarhum
merupakan bagian utuh dari sejarah Maluku Utara. Dan pada titik inilah gagasan beliau mengenai Maluku Utara menjadi lebih jelas. Satu pokok menarik soal itu adalah pandangan beliau, yang telah saya bahasakan kembali.
Yang pertama harus kita pahami dari keberadaan Maluku Utara di dalam proyek kebangsaan ini adalah hubungan unik antara Maluku Utara dan Indonesia. Dalam gagasan almarhum, tidak cukup jika kita hanya melihat Maluku Utara sebagai bagian dari Indonesia.
Meminjam ungkapan Emha Ainun Nadjib, kita juga harus melihat Indonesia sebagai bagian dari Maluku Utara. Jika yang pertama adalah kenyataan terberi, “Das Sein yang kita nyatakan sebagai komitmen politik, maka yang kedua adalah soal penghayatan, “Das Sollen” yang hanya bisa kita realisasikan dengan menjadi orang Maluku Utara yang terus disituasikan dalam suatu keindonesiaan.
Dalam kasus ini, hal pertama yang harus
diingat, beliau melihat Indonesia sebagai sebuah proyek atau, lebih tepatnya, sebuah proses yang baru dimulai pada tahun 1945 tapi bertopang pada eksistensi keberbagaian yang membentuknya. Apa yang memberikan masa lalu bagi proses ini adalah Maluku Utara dan semua daerah lain yang membuat kita bisa menemukan Indonesia di dalam peta. Apa yang akan menjadi masa depan Indonesia adalah juga Maluku Utara dan semua daerah lain yang membuat kita masih akan menemukan Indonesia yang sama.
Sebagaimana masa lalunya, yang unik pada dirinya sebagai masa lalu Maluku Utara, begitu juga masa depannya yang mestinya juga unik pada dirinya sendiri sebagai masa depan Maluku Utara. Artinya, dalam gagasan almarhum, kita tidak harus mengejar abstraksi masa depan Indonesia, tapi realitas kongkret masa depan Maluku Utara dengan Indonesia sebagai bagian darinya.
Dipahami dalam cara ini, aku sering tergoda untuk melihat hubungan Maluku Utara dengan Indonesia, dalam gagasan almarhum ayahku sebagai hubungan
antara yang-banyak (the many) dengan yang-satu (the one) dalam Platonisme.
Yang-satu adalah Indonesia sebagai forma dari apa yang tampak sebagai
keberbagaian dari yang-banyak, yakni Maluku Utara dan berbagai daerah lain.
Maluku Utara berasal darinya – abstraksi arkais dari performa keindonesiaan di masa
lalu adalah Nusantara; tapi ini bukan gagasan almarhum, dan Maluku Utara akan kembali kepadanya, dalam arti tersituasikan dalam sebuah Indonesia. Ini tidak berarti Maluku Utara akan menjadi Indonesia. Pertama, karena Indonesia selalu adalah forma, idealitas dari yang-banyak. Kedua, karena Indonesia yang satu, hanya bisa dikenali sebagai yang banyak, Maluku Utara dan semua daerah lainnya.
Tapi apa yang menarik adalah refleksi radikal pandangan ini di kepala seorang
Arifin Assagaf. Maluku Utara sendiri hanyalah nama dari oleh ikhtiar politik
dalam sebuah sistem kenegaraan yang diperjuangkan olehnya dan oleh banyak
orang lain demi pengakuan akan keberagaman Indonesia. Apa yang sesungguhnya nyata adalah bagian-bagiannya yang unik dan beragam.
Almarhum tidak pernah meganggap Ternate dan seluruh isinya sama begitu saja dengan, misalnya, Tidore. Kenyataan Moloku Kie Raha adalah kenyataan empat kesultanan yang menggambarkan keragaman identitas Maluku Utara. Artinya, Maluku Utara adalah
representasi nomenklatur dari yang banyak, seperti misalnya Sulawesi Utara
adalah nama bagi keberbagaian yang mencakup Minahasa, Bolaang Mongondow, Sangir dan seterusnya.
“Maluku Utara adalah apa yang kami perjuangkan secara politis bagi adanya
pengakuan akan keberagaman Indonesia,” kata beliau.
Selanjutnya, Maluku Utara
mestinya bisa menjadi nama bagi perjuangan generasi berikut secara kultural, bahkan spiritual untuk mempertahankan keberagaman itu, karena apa yang bisa kita bayangkan dari sebuah Indonesia tanpa keberagaman itu.
Ungkapan terakhir ini adalah refleksi gagasan almarhum tak lama setelah beliau kembali dari perjalanannya ke Papua, dan itu adalah perjalanan jauh terakhir almarhum, sebelum akhirnya beliau terlelap damai dalam rapuh tubuh berusia 84 tahun ketika kami menitikkan air mata untuk kepergiannya.
Beliau adalah ayahku, sebuah nama yang terkenang kembali ketika Maluku Utara
merayakan ulang tahunnya yang ke-21. Maka mewakili ayahku tercinta, aku dan seluruh keluarga besar Arifin Assagaf, mengucapkan selamat ulang tahun untuk Maluku Utara.
Manado, 11 Oktober 2020.
Penulis adalah Imam Besar Padepokan Puisi Amato Assagaf.
(Isi Opini di luar tanggung jawab redaksi)