Opini  

Sahabat Setia Soekarno yang Juga Kenalanku

Oleh : Pallawa Rukka Hamti (Pekerja Teks Komersial)

Faktual.Net – Hari ini merupakan hari yang cukup berat untuk dilalui seorang diri. Sejak kemarin ingin kuhabiskan waktuku bersama seseorang yang mungkin saja ingin mendengarkan keluh dan resahku tanpa banyak bertanya dan menyela. Namun niat itu tidak menyambut gayungnya dan hari ini adalah puncaknya aku tiadk bisa berdiam seorang diri. Dan orang-orang yang kuharap bisa membuatku melupakan masalah yang berkutat dipikiranku seolah-olah mempermainkanku dengan mengundangku ke tempat berkumpulnya mereka yg sedang menikmati kesukariaan akan berangkat untuk mengabdi ke pelosok-pelosok sebagai program perkuliahan. Kehadiranku seakan menjadi momok untuk ditertawakan ketika dengan tatapan altruistik palsu mencoba mengajakku masuk sementara mereka mengabaikanku untuk segera meninggalkan tempat itu. Mungkin inilah resiko menjadi seseorang yang memiliki cukup banyak rahasia untuk dirinya sendiri dan belum membuka hati untuk siapapun yang datang merayu.

Mungkin telah takdirku untuk menikmati kesepian seorang diri. Kemarahan dan amuk dariku tentu saja tidak pantas untuk kubagi dengan mereka yang tidak mengerti apa-apa dan tak mau tahu dengan masalah yang kuhadapi. Semua orang sudah punya cukup banyak masalah untuk dirinya sendiri, tidak perlu lagi kutambah dengan keluhanku untuk mereka.

Buku merupakan satu-satunya teman setia yang selalu memiliki cerita untuk dibagi bersamaku. Cerita untuk membuatku mengabaikan beban pikiranku meski hanya beberapa saat. Sedangkan rokok kretek dan kopi ibaratnya sahabat yang kubayarkan untuk menemani kebosananku sepeti pelacur yang dengan senang hati menemaniku dengan bayaran yang cocok. Mereka pelacur-pelacur yang selalu merayuku untuk memuaskan hasrat dan amarahku ketika tidak bisa kutampung sendiri.

Marli, pelacur kulit putih asal Amerika adalah pelacur paling setia yang tidak akan membeberkan rahasia yang kubagi ketika aku bersenggama dengan kepulan asap bersamanya. Namun pelacur yang satu ini bisa membunuhku kapan saja dengan cara perlahan-lahan lewat kenikmatan yang diberikannya. Aku tidak mempermasalahkan hal itu, toh akupun adalah pria masokis yang sanggup menikmati kesakitan untuk keinginanku mati muda.

Kemudian perkenalkan Vivi, pelacur yang satu ini katanya dilahirkan di Vietnam namun lahir dari benih yg tumbuh di tanah air ini yang merupakan blasteran pedagang asal Arab. Vivi si pelacur eksotis itu adalah seorang pelacur murahan yang bisa kubayar dengan harga murah untuk menemaniku terjaga semalam suntuk. Tidak seperti Marli pelacur Amerika itu yang seperti lintah bisa menghabiskan isi dompetmu dengan harganya yang glamour dan royal. Vivi hanyalah pelacur murahan yang bisa kamu temui nongkrong di warkop-warkop kelas menengah dengan harga yang cukup bersahabat untuk menikmati malam bersamanya. Namun hati-hati dengan pelacur yang satu ini, tidak banyak orang yang menyenanginya. Ia pelacur yang memberimu kenikmatan dengan kepahitan di awal sentuhan bibirmu, namun jika kamu cukup lihai untuk menyeruput kepahitan itu ia akan menghadiahimu rasa manis di penghujung lidahmu.

Namun Marli merupakan pelacur yang setia, kesetiaanyya terbukti dengan kehadirannya yang selalu siap menemaniku kapan saja aku memiliki cukup uang untuk membiayai kenikmatan bersamanya. Tidak seperti Vivi yang manja yang hanya bisa kutemui di warkop setengah mentereng. Marli, meskipun royal, adalah pelacur yang bisa kamu panggil kapanpun dan di manapun kamu berada. Namun terkadang si Marli ini membuatku cemburu dengan penggemarnya yang banyak. Terkadang aku tidak sudi membagi kenikmatan yang diberikan Marli untuk teman-temanku yang juga menggandrungi pelacur ini. Aku tidak begitu senang ketika Marli-ku memberikan kesenangan lebih banyak untuk bibir-bibir binal teman-temanku, apalagi ketika aku yang membayar Marli untuk kesenangan itu. Meskipun seperti itu, aku tidak pernah menyalahkan Marli. Aku menyayanginya sebagai seorang teman. Toh Marli adalah pelacurku yang selalu bisa menemaniku kapan saja, tentu saja dengan kocek yang agak mahal untuk seorang mahasiswa sepertiku.

Temanku yang lainnya adalah Sam dan Surya. Mereka adalah dua bersaudara yang juga merupakan sepupu Marli. Bedanya, Sam dan Surya lahir di Indonesia dari benih seorang Imigran Tiongkok bernama Liem Sieng Tee sedangkan Marli adalah anak haram Liem yang juga lahir dari rahim ibunya Sam dan Surya dari seorang Ayah asal Amerika bernama Philip Morris yang terbujuk rayu ibu Sam dan Surya dalam kunjungannya ke Indonesia pada tahun 2005.

Sam dan Surya ini, meskipun dilahirkan oleh orang Tiongkok sudah kuanggap sebagai seorang pribumi. Mereka berdua adalah teman yang baik yang selalu punya banyak waktu untuk dihabiskan bersama. Pergaulannya cukup luas dan tidak membatasi untuk bergaul dengan kelas tertentu.

Mulai dari kalangan tukang becak, kuli bangunan, buruh, petani, bahkan orang-orang di Istana Negara mengenal Sam dan Surya sebagai teman yang terpercaya. Terutama Sam, dia pernah punya akses eksklusif untuk berkeliaran di dalam Istana Negara sejak Soekarno menjadi Presiden pertama negri ini. Ia pernah tampil mentereng dengan penampilan ekslusif dan batik bergambarkan Garuda lambang negara Indonesia ketika masih sering di undang dalam kegiatan kenegaraan. Bahkan Sam pernah menemani Soekarno dalam pertemuannya dengan Presiden Amerika Jhon F. Kennedy. Benar-benar aku salut dengan nama besar Sam dan Surya. Namun karena kesalah bapaknya sendiri, ketenaran Sam dan Surya akhirnya tergeser sedikit demi sedikit dengan kehadiran pelacur-pelacur Amerika itu. Pelacur-pelacur Amerika itu mungkin tidak akan pernah menginjakkan kakinya di Indonesia kalau bukan dengan terjadinya perjanjian bilateral antara Indonesia dan Amerika pada masa Soeharto.

Berkat Soeharto terbukalah pasar bebas yang memungkinkan pelacur-pelacur asal Amerika masuk ke Indonesia dengan rayuan yang di-iming-imingi maskulitas untuk setiap pria yang sanggup membayar untuk kesenangan bersama mereka. Aku yakin, bahkan Soekarno sang Presiden yang terkenal sangat Nasionalis itu sempat tergoda oleh kemolekan Marli dan kawan-kawannya.

Namun entahlah, aku belum pernah mendengar kisah pelacur-pelacur Amerika itu berhasil merayu Founding Father negara ini untuk mendekapnya di pelukannya. Mungkin karena kematiannya yang terlalu dini pada tahun 1970 membuatnya belum sepat berkenalan dengan Marli yang datang ke Indonesia di tahun 2005. Sayang sekali Bung! kamu meninggalkan dunia ini sebelum sempat menikmati pelacur-pelacur Amerika itu.
Sekali lagi hormatku untuk Sam dan Surya yang sempat menjadi sahabat Bapak Presiden kita yang tercinta. Aku mengenal kisah hidup Sam dan Surya pertama kali pada tahun 2015 dalam kunjunganku ke Surabaya.

Di Surabaya aku sempat mengunjungi rumah mereka di lahirkan. Sebuah rumah mewah bak Istana dengan mobil-mobil Mercy klasik yg terpajang di bawah kanopi rumahnya. Rumah mewah itu kini telah menjadi Museum ketika pertama kali aku mengunjunginya. Di museum itu pula aku mengenal sejarah perjalanan hidup Sam dan Surya di Indonesia dan di rumah itu pula untuk pertama kalinya aku mengetahui bahwa ternyata Sam dan Surya memiliki pengaruh yang besar di lingkungan Istana Negara. Wajar saja, Sam dan Surya ini telah banyak berkontribusi untuk perngembangan ekonomi negara kita. Bapaknya telah membuka banyak wadah pekerjaan untuk petani-petani cengkeh dan tembakau juga untuk buruh-buruh pabrik di Indonesia. Mereka cukup dekat dengan tani dan buruh Indonesia dan begitupun sekali lagi rasa hormatku untuk jasa mereka.

Benar-benar sebuah kehormatan memiliki kesempatan untuk mengunjungi rumah Sam dan Surya di Surabaya, begitupun aku menghargai pertemananku dengan mereka. Namun tetap saja, aku harus berhati-hati dengan hubungan pertemanan ini begitupun untuk mereka para nasionalis yg berhubungan dekat dengan Sam, Surya, dan pelacur-pelacur Amerika itu. Ingat, darah lebih kental daripada air dan tentu saja kehadiran mereka di Tanah Air ini harus diwaspadai. Kesenangan dan persahabatan yang mereka tawarkan tidak lebih dari sekedar hubungan pragmatis. Mungkin hanya buku yang benar-benar bisa menjadi teman yg dapat dipercaya tanpa maksud mencari keuntungan dibaliknya, begitupun Vivi yang masih memiliki riwayat benih Indonesia.

Tanggapi Berita Ini