“Sejarah dunia adalah sejarah orang muda, apabila angkatan muda mati rasa,
maka matilah sejarah sebuah bangsa”
-Pramoedya Ananta Toer-
Apa yang dikatakan Pram puluhan tahun yang lalu adalah sebuah ketegasan akan pentingnya kehadiran dan peranan kaum muda dalam sejarah peradaban bangsa. Kita ketahui bersama, bahwa negara ini hadir tidak lepas dari perjuangan beberapa kaum muda pada masa lampau. Dari masa ke masa, kaum muda selalu mengambil bagian dalam proses pembangunan nasional bangsa ini. Pun, sampai hari ini, kaum muda masih dianggap sebagai pemegang tongkat estafet bangsa hingga akhir zaman.
Realitas hari ini, kaum muda dituntut memiliki peranan tersendiri dalam setiap proses-proses produktifitas kemajuan bangsa. Apalagi, bonus demografi yang memberikan ruang usia produktif lebih besar bagi bangsa ini harus disambut dan dimaksimalkan prosesnya.Di kawasan Asia, dibandingkan dengan Jepang, Australia, Tiongkok, dan Singapura, Proporsi usia produktif Indonesia cukup besar. Bahkan di tingkat ASEAN, 38% jumlah penduduk usia produktif terdapat di Indonesia. Sebuah peluang emas untuk menjadikan produktifitas bangsa ini jauh lebih unggul.
Namun, data berbicara lain. Indeks Pembangunan Pemuda (IPP) yang dirilis empat tahun terakhir oleh Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) Republik Indonesia menunjukkan angka pasang surut. Indeks Pembangunan Pemuda (IPP) ini adalah sebuah tolak ukur atas capaian-capaian kepemudaan di lima bidang dasar, yakni domain pendidikan, kesehatan dan kesejahteraan, lapangan dan kesempatan kerja, partisipasi dan kepemimpinan, serta gender dan diskriminasi. 2015, IPP nasional kita berada di angka 47,33%, mengalami peningkatan pada tahun 2016 menjadi 50,17%. 2017 turun menjadi 48,00%, dan 2018 kembali menyentuh angka 50,17%. Jika dilihat secara nasional, grafik IPP kita baru bisa menyentuh di angka maksimal middle level. Belum mampu meningkat di atas angka 50 persen pada posisi top level. Artinya, bonus demografi masih menjadi pekerjaan rumah negara untuk memaksimalkan rumusan program dan impelementasi kerja pada unsur kepemudaan.
Jika secara nasional, pembangunan kepemudaan masih menjadi pekerjaan rumah yang besar, tidak jauh beda dengan di Sulawesi Selatan, sebagai tempat lahir dan berkediaman penulis, beberapa hal terkait Indeks Pembangunan Pemuda kita perlu menjadi perhatian. Angka IPP kita selalu berada di bawah standar IPP nasional. 2015 hingga 2018 masing-masing berada di angka 46,17%, 46,67%, 46,17%, dan 48,50%. Provinsi D.I.Yogyakarta selalu berada pada peringkat atas dengan perolehan di angka 60 persen. Tipikal kaum muda Yogyakarta dianggap produktif, sehat, mandiri, dan kreatif dalam memberikan kontribusi bagi daerahnya.
Data di atas menunjukkan sebuah stagnansi IPP kita di bottom level. Ada yang belum tuntas pada indikator-indikator pembangunan kepemudaan ini. Domain pendidikan menunjukkan kriteria tentang rata-rata lama sekolah dan partisipasi di sekolah menengah ke atas dan perguruan tinggi. Domain kesehatan, kriterianya yakni angka kesakitan pemuda, pemuda korban kejahatan, pemuda merokok, dan remaja hamil. Untuk domain lapangan dan kesempatan kerja,kriterinya yaitu pemuda wirausaha dan tingkat penggangguran terbuka. Sementara, domain partisipasi dan kepemimpinan meliputi, pemuda sukarelawan, pemuda berorganisasi, dan pemuda berpendapat di rapat kemasyarakatan. Sedangkan domain gender dan diskriminasi, kriterinya meliputi tingkat perkawinan anak, pemudi bersekolah menengah atas hingga perguruan tinggi, dan pemudi bekerja.
Kriteria-kriteria dari domain di atas menunjukkan belum maksimalnya Pemerintah Provinsi dan pemerintah Kabupaten/Kota bersinergi dengan berbagai kelompok-kelompok kepemudaan untuk berbagai masalah pada kriteria domain tersebut. Stagnansi IPP Sulsel adalah realitas kepemudaan yang harus diterima dan harus segera diselesaikan bersama-sama. Belakangan terakhir, memang kita sering mendengar kabar tentang mahasiswa yang harus berhenti kuliah karena faktor biaya. Belum lagi, aksi “begal” dan tawuran yang aktor-aktornya adalah usia-usia muda. Ribuan sarjana menjadi penggangguran, tingginya perkawinan anak, dan rendahnya minat berorganisasi dan literasi pemuda kita di Sulawesi Selatan. Fenomena-fenomena ini adalah representase dari angka-angka yang ditampilkan oleh Kemenpora. Sehingga, perlu upaya yang lebih massif dalam memberdayakan dan membina kaum muda.
Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan jumlah usia pemuda Sulawesi Selatan pada tahun 2015 yakni sekitar dua juta delapan ratus lima belas ribu rupiah atau berada di angka kisaran 34 persen dari jumlah penduduk di Sulsel. Memang bukan jumlah sedikit untuk diatur, dibina, dan diberdayakan secara maksimal. Wibawa (2013) mengemukakan bahwa Persoalan-persoalan yang dihadapi pemuda harus di selesaikan dengan pendekatan secara sestemik dan holistik. Pendekatan itu mulai dari hulu dan juga dari hilirnya, secara personal, kelompok, sosial dan juga dengan pendekatan struktur. Melibatkan semua komponen dan sumberdaya yang ada. Hal ini juga sesuai dengan Perpres Nomor 66 Tahun 2017 tentang koordinasi strategis lintas sektor pelayanan kepemudaan. Sudah sepatutnya, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota secara inklusif dan memfokuskan kerja-kerja program pada pembangunan manusia. Apalagi, legislator-legislator yang baru-baru terpilih, baik petahana maupun pendatang baru, sebelum dilantik sudah harus memikirkan rumusan anggaran daerah untuk pembangunan manusia, khususnya unsure kepemudaan. Tidak lupa, lembaga struktural ini harus pula “menggandeng” lembaga atau komunitas-komunitas pemuda dari berbagai bidang tanpa tebang pilih untuk saling bersinergi dengan Organisasi Perangkat Daerah (OPD) masing-masing daerah yang bersentuhan dengan pemuda.
Mengabaikan urusan kepemudaan adalah bagian dari cara kita untuk apatis terhadap masa depan bangsa. Sulawesi Selatan sebagai bagian dari negara yang besar ini harus menjadi patron atau teladan bagi provinsi-provinsi lainnya yang ada di Indonesia. Identitas siri’ na pacce’ yang melekat pada orang-orang Sulawesi Selatan harus dijadikan pijakan untuk memperbaiki pembangunan manusia kita di masa yang akan datang. Tentu, hal ini sesuai dengan visi-misi Gubernur-Wakil Gubernur kita yang dilantik delapan bulan lalu yang harus dikawal dan didorong bersama-sama. Sulawesi Selatan hanya akan menjadi bahan tertawaan provinsi lain jika IPP kita tidak dapat kita tingkatkan. Apalagi, salah satu daerah di Provinsi ini digadang-gadang menjadi salah satu calon ibukota negara yang baru.
Tidak hanya pemerintah provinsi dan kabupaten/kota. Kaum muda juga harus berani dan tegas mengambil peran dalam proses perencanaan dan pengembangan wilayah, utamanya dalam bidang pembangunan manusianya. Seperti kata Pram, Keberanian! Sekali lagi keberanian! Terutama untuk Angkatan Muda, keberanian adalah modal pertama. Tanpa keberanian, seperti sering saya sampaikan, kalian akan diperlakukan sebagai ternak belaka: dibohongi, digiring ke sana-kemari, atau bisa saja digiring ke pembantaian. Keberanian saja yang bisa membuat pribadi menjadi kokoh.
Bangkit, Berani, dan Majulah Pemuda!
Penulis: Amul Hikmah Budiman,
Ketua Forum Pemuda Bhinneka Tunggal Ika (FPBTI)/Mahasiswa Sekolah Pascasarjana Universitas Hasanuddin Jurusan Manajemen Kepemimpinan Pemuda Angkatan 2018