Faktual.Net, Jakarta-Ridwan Basri Daeng Manakku, Direktur Eksekutif Celebes Intelectual Law mengajak kita semua untuk merenungi pesan dari Perdana Menteri Kerajaan Gowa ( Sultan Tallo Karaeng Pattingalloang ).
Lahir dengan nama I Mangadacinna Daeng Sitaba pada tahun 1600, Karaeng Pattingalloang adalah anak keenam dari pasangan permaisuri I Wara’ Karaeng Lempangang dan Karaeng Matoaya. Sang ayah punya tempat tersendiri dalam sejarah mengingat dialah raja Tallo pertama yang memutuskan memeluk Islam berkat bimbingan Abdul Qadir Datuk Tunggal alias Datuk ri Bandang. Gelar Sultan Awalul Islam pun melekat.

Mari belajar kearifan lokal (local genius) dari tokoh Makassar, Perdana Menteri Kerajaan Gowa I Mangadacinna Daeng Sitaba Karaeng Pattingalloang Sultan Mahmud Syah, yang kaitannya mengenai kehidupan berbangsa dan bernegara, menurutnya ada lima hal menyebabkan keruntuhan sebuah negara.
1.Apabila kepala negara yang memerintah tidak lagi mau dinasihati (punna tenamo naero nipakainga Karaeng Manggauka).
Ketika seorang pemimpin merasa dirinya tidak butuh nasehat, teguran, serta kritikan orang lain atas kesalahan yang mungkin diperbuatnya, maka pemimpin yang demikian adalah pemimpin yang tidak baik.mungkin diperbuatnya, maka pemimpin yang demikian adalah pemimpin yang tidak baik. Sikap ini bukan hanya tidak baik tetapi juga sangat berbahaya, pemimpin yang tidak tahan kritik semacam ini akan menimbulkan sistem pemerintahan yang dianggap diktator. Sejarah mencatat beberapa pemimpin dunia yang sangat kejam dan keji memerintah secara diktator.
2. Apabila tidak ada lagi cendekiawan yang tulus mengabdi di dalam negeri
(punna tenamo tumangngaseng ri lalang pa’rasangnga).
Peran seorang cendekiawan ataupun seorang intelektual dalam membangun sebuah tatanan dan peradaban kemasyarakatan sangatlah penting, tercatat tokoh intelektual bangsa di masa lalu selain Karaeng Pattingalloang itu sendiri ada Buya Hamka, KH.Hasyim Asy’ari , KH.Ahmad Dahlan, dan lain sebagainya.
3. Jika terlalu banyak kasus hukum yang besar di dalam negeri, hingga menyusupkan muak di hati (punna jaimo gau lampo ri lalang pa’rasangnga).
Dalam konteks nasional, realitas yang terjadi memang sudah banyak sekali kasus-kasus besar yang terjadi. Di sinilah dituntut bagaimana peran serta cendekiawan sebagai orang yang berilmu memberikan pemahaman kepada masyarakat banyak, guna menghindari tingkah laku yang bisa membuatnya jatuh dalam perbuatan yang salah.
Sebenarnya hal ini juga sungguh ironis dikarenakan yang banyak melakukan perbuatan salah tersebut adalah orang-orang besar. Bagaimana di negeri ini para penegak hukum, para wakil rakyat, maupun para pemimpin yang justru melakukan perbuatan salah. Mulai dari korupsi, menerima suap, hingga menyebarkan kebencian yang tidak berdasar.
4. Jika banyak hakim dan pejabat suka makan suap (punna angngallengasemmi’ soso’ pabbicaraya).
Manusia cenderung berambisi hidup dengan kemewahan, kehormatan dan jenuh dengan kemiskinan dan penderitaan. Sebagian orang walau sudah bekerja bermandikan keringat namun hasil yang didapat hanya sedikit saja. Bergerak dari keadaan yang demikian sebagian ingin mencoba memperbaiki kedudukan dan ekonominya secepat mungkin dengan usaha dan pengorbanan yang seminim mungkin juga.
Secara logika hal itu tentu tidak mungkin. Namun karena sudah terpatri di dalam pikirannya maka manusia yang tergolong dalam tipe di atas jadi terjerumus dengan melakukan apa pun yang dapat dia lakukan tanpa mempertimbangkan apakah tindakan itu menyalahi prinsip-prinsip moralitas, etika, dan merugikan orang lain.
Berbagai cara haram pun mulai menjamur di dalam pikiran mereka dan salah satu di antaranya adalah dengan memberikan suap. Memberi suap sepertinya tidak menjadi rahasia lagi, begitu memasyarakatnya aksi tersebut sehingga orang yang memberikan dan menerima suap itu tidak merasa bersalah lagi bahkan dikatakan saling tolong-menolong.
5. Jika penguasa yang memerintah tidak lagi menyayangi rakyatnya (punna tenamo nakamaseyangi atanna Manggauka).
Menyayangi di sini tentulah banyak parameter untuk menyebutkannya. Menyayangi bisa berarti menghargai kebebasan masyarakatnya sesuai dengan undang-undang yang berlaku. Di mana kebebasan beragama, berkeyakinan, dan berpendapat haruslah dilindungi sehingga tidak ada lagi diskriminasi berdasarkan entitas tertentu. Menyayangi juga dapat dimaksudkan dengan perwujudan dari keadilan ekonomi dan sosial. Mulai dari tidak adanya lagi diskriminasi maupun pembangunan yang harusnya melingkupi seluruh negeri.
Jauh sebelum Indonesia ada dan pemerintahan modern dikenal dengan nama Demokrasi, maka sesungguhnya Kerajaan Gowa sudah menerapkan sistem demokrasi dalam hal pemilihan calon pemimpin,” kata Ridwan.
Dimana seorang Raja tidaklah dianggap sah apabila tidak disepakati oleh dewan adat Bate Salapang (sembilan pemimpin negeri) sekaligus menjalankan fungsi legislatif dalam sistem pemerintahan modern dikenal dengan sebutan senator,” tambahnya.
Bangsa Makassar yang terlegitimasi oleh aliansi Kerajaan Gowa / Tallo sudah mewariskan fungsi dari pemerintahan yang ada dan pemerintah harus menunjukkan arah dimana kita harus tuju secara bersama-sama, sesuai filosofi pemerintahan orang Makassar (Gowa dan Tallo) yang berbunyi, “Siri’na , tuma’butayya niaki ri pamarentayya, pa’rupanna gauka niaki ri tojaiyya, parentai tawwa ri erokna (Harga diri rakyat terletak pada pemerintah, Perwujudan Pembangunan tergantung pada kehendak Rakyat, Perintah lah Rakyat berdasarkan Keinginannya) filosofi ini sejalan dengan teori Demokrasi dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat,” papar Ridwan saat berbincang dengan awak media di sebuah mall dibilangan Jakarta Pusat .
Laporan: Tim Media