Faktual.net – Jakarta – 25 Januari 2024 – Komunitas ASEAN dinilai perlu sekali memasukkan literasi keagamaan lintas budaya sebagai bagian dari Visi Komunitas ASEAN Pasca 2025. Hal itu didasarkan kondisi Asia Tenggara yang sangat beragam baik dari sisi agama, kepercayaan, maupun budaya, sehingga perlu upaya bersama untuk menjadikan keberagaman sebagai modal sosial dalam membangun inklusivitas dan kolaborasi.
Deputi I Wakil Tetap RI untuk Perserikatan Bangsa-bangsa, Organisasi Perdagangan Dunia, dan Organisasi Lainnya di Jenewa, Swiss, Duta Besar Achsanul Habib, mengatakan literasi keagamaan lintas budaya sejalan dengan Pernyataan Para Pemimpin Negara ASEAN tentang Pengembangan Komunitas ASEAN Pasca 2025 yang disampaikan saat KTT ASEAN ke-42 di Labuan Bajo, 10-11 Mei 2023, yakni “untuk mewujudkan Komunitas yang inklusif, partisipatif, dan kolaboratif”.
“Apabila kita melihat ASEAN, tentu kita harus merujuk visi ASEAN Pasca 2025 yang sedang dibangun, yang mengharapkan ASEAN menjadi masyarakat inklusif dan memberikan kesempatan para anggotanya untuk berpartisipasi dan mengembangkan kolaborasi dalam berbagai hal,” kata Habib dalam webinar bertajuk “Literasi Keagamaan Lintas Budaya dalam Masyarakat ASEAN” yang diadakan Institut Leimena, Rabu (24/1/2024) malam.
Habib mengatakan webinar ini merupakan kelanjutan dari salah satu sesi Konferensi Internasional Literasi Keagamaan Lintas Budaya yang diadakan Kementerian Hukum dan HAM bersama Institut Leimena pada 13-14 November 2023. Dalam konferensi tersebut, sejumlah perwakilan Indonesia dan negara Asia Tenggara berdiskusi dan memproduksi sejumlah pemikiran tentang pentingnya literasi keagamaan lintas budaya dalam Visi Komunitas ASEAN Pasca 2025.
Sementara itu, Perwakilan Tingkat Tinggi Satuan Tugas Tingkat Tinggi tentang Visi Komunitas ASEAN Pasca-2025 dari Filipina, Luis T. Cruz, mengatakan satuan tugas dibentuk tiga tahun lalu oleh para pemimpin ASEAN dengan tugas menyusun Visi Komunitas ASEAN Pasca 2025, termasuk di dalamnya agenda memajukan budaya perdamaian. Saat ini, satuan tugas juga sedang menyusun rencana strategis ASEAN untuk 40 tahun ke depan.
“Saya senang Konferensi Internasional yang diselenggarakan oleh Kementerian Hukum dan HAM dan Institut Leimena pada 13-14 November 2023 di Jakarta telah menghasilkan banyak informasi yang dapat dimasukkan ke dalam rencana strategis untuk mempromosikan literasi keagamaan lintas budaya,” kata Dubes Cruz.
Cruz menyampaikan pemimpin ASEAN perlu ikut mendukung inisiatif literasi keagamaan lintas budaya yang saat ini difokuskan kepada jalur pendidikan. Dia mengusulkan agar memasukkan literasi keagamaan lintas budaya sebagai bagian dari kurikulum di negara-negara ASEAN sehingga siswa memperoleh pemahaman komprehensif tentang agama dan kepercayaan.
“Hal ini akan memungkinkan mereka untuk menghargai persamaan dan perbedaan antar agama, menumbuhkan toleransi dan empati,” ujarnya.
*Entitas ASEAN*
Cruz juga mengusulkan Institut Leimena menjadi inisiator untuk membentuk jaringan berisi setidaknya lima lembaga berbasis agama yang bertujuan mengadvokasi kesadaran literasi keagamaan lintas budaya. Jejaring lembaga tersebut bisa mengajukan permohonan untuk menjadi entitas tersendiri di bawah ASEAN.
Selain itu, tambah Cruz, para pemimpin agama, cendekiawan, dan praktisi dari berbagai agama, harus didorong untuk menciptakan platform yang terbuka dan saling menghormati untuk mempromosikan dialog dan kolaborasi antaragama.
“Mohon maaf saya harus mengatakan banyak sekali birokrat ASEAN merasa isu toleransi beragama di ASEAN bukanlah suatu isu atau masalah, sebaliknya fakta yang diterima. Namun, kita tidak bisa memperkirakan yang akan terjadi 20 tahun ke depan dan perlu mengantisipasi berbagai kemungkinan yang bisa berdampak pada kawasan,” katanya.
Sekretaris Jenderal Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Prof. Abdul Mu’ti, mengatakan kawasan ASEAN selama ini disebut sebagai kawasan dengan masyarakat serumpun, namun sesungguhnya memiliki berbagai latar belakang agama dan budaya yang berbeda. Itu sebabnya, perlu dibangun kedekatan lewat berbagai jalur termasuk literasi keagaman lintas budaya.
“Pengalaman Indonesia bagaimana Program Literasi Keagamaan Lintas Budaya bisa memberikan pengembangan kompetensi guru perlu direplikasi negara-negara ASEAN,” katanya.
Menurut Mu’ti, literasi keagamaan lintas budaya di Indonesia berkontribusi untuk membangun toleransi otentik karena tetap memelihara pluralitas agama dan budaya masing-masing negara. Inisiatif tersebut juga bisa menjadi gerakan baru di ASEAN, sehingga kawasan ini tidak hanya lebih banyak bicara tentang ekonomi dan politik, tetapi juga masalah perdamaian dan kerukunan.
Wakil Indonesia untuk Komisi HAM Antarpemerintah ASEAN (AICHR), Yuyun Wahyuningrum, mengatakan literasi keagamaan lintas budaya bisa memberikan perspektif keberagaman yang baru, yaitu bukan hanya terkait ibadah semata melainkan memahami peran agama dalam berbagai isu seperti perubahan iklim. “Pilar kebudayaan ASEAN bisa menjadi rumah dari insiatif literasi keagamaan lintas budaya,” kata Yuyun.
Direktur Eksekutif Institut Leimena, Matius Ho, menambahkan Program Literasi Keagamaan Lintas Budaya yang dikembangkan Institut Leimena dan berbagai lembaga mitra di Indonesia telah diikuti lebih dari 6.000 guru baik dari madrasah maupun sekolah, penyuluh agama, dai dan daiyah.
“Program ini kemudian ternyata mulai menarik perhatian dari luar negeri, karena banyak tantangan serupa dalam masyarakat majemuk di negara-negara. Utamanya adalah bagaimana mengatasi masalah prejudice, stereotip negatif terhadap yang berbeda, apalagi ketika ditambah masuknya ajaran-ajaran agama yang bersifat eksklusif, anti perbedaan, bahkan ekstrem,” ujar Matius.
Reporter: Johan Sopaheluwakan